Islamisasi dan Gerak Dakwah Wali Songo
Banyak masyarakat umum yang
beranggapan bahwa Islam baru masuk dan berkembang pada masa akhir kerajaan
Majapahit. Para orientalis kerap menekankan bahwa Islam tidaklah membawa
perubahan yang mendasar dalam peradaban Nusantara ini. Padahal Islam memiliki
peran yang begitu besar, dalam bidang tasawuf, intelektual, dan lainnya. Tidak
sedikit yang berperan dalam menyebarkan Islam di Nusantara, salah satunya Wali Songo.
Mereka merupakan sosok
historis yang menyebarkan Islam di Nusantara ini. Sebenarnya melakukan
penyebaran Islam bukan mereka saja, tetapi mereka memiliki jasa yang begitu
banyak. Diantaranya mereka sukses dalam berdakwah, sehingga dijadikan model atau
teladan dalam berdakwah ditengah masyarakat. Namun banyak yang menyangka bahwa
kisah mereka merupakan hoax, tidak memiliki landasan sejarah. Apakah benar
begitu? Maka penulisan ini untuk menjelaskan Wali Songo, disertai dengan bukti
sejarahnya dan peran yang mereka mainkan dalam melakukan islamisasi dan dakwah.
Histiografi Wali Songo
Histiografi merupakan
satu proses untuk menyusun data-data menjadi suatu tulisan sejarah. Namun
sejarah dalam penulisan sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu. Dalam
menyusun dan menata ulang kejadian sejarah dibutuhkannya jejak atau sumber
sejarah mutlak, baik dalam bentuk tulisan atau pun lisan. Tanpa hal tersebut
maka sejarawan tidak dapat menuliskannya. Ini menunjukan bahwa cerita sejarah
bukanlah cerita sastra, yang dapat dikarang oleh sang penulis, namun
dibutuhkannya sumber primer dan sekunder dalam penulisannya.
Maka dengan mempelajari
histiografi, kita dapat mengetahui bagaimana cerita sejarah ditulis dan
dikembangkan. Sebab dalam sumber-sumber sejarah terkadang tercampur antara
kisah fiktif dengan kisah sejarah. Sehingga diharapakan dapat bijak dalam
menilai dan memilah kisah sejarah, karena peliknya sejarah adalah harus dapat
menggambarkan dengan jelas jalannya sejarah.
Penulisan sejarah Wali Songo
kerap menemui banyak perdebatan. Dimulai dari istilah ‘Wali Songo’ sendiri,
yang ada banyak perdebatan asal kata tersebut. Ada sebagian yang berpendapat
bahwa berasal dari kata sanga, yang
merupakan symbol kesempurnaan dan kointinuitas dari konsep siwanasawasanga. Sebagian
mengatakan berasal dari kata sana yang
berasal dari kata Jawa kuno yang menunjukan tempat. Sebagian lainnya berpendapat
dari istilah budha, sangha yang
berarti perkumpulan para biksu. Namun menurut Edi Sedyawati, Wali Songo
merupakan istilah simbolis, sebab mereka tidak semua sehidup sezaman, bahkan
berasal dari tempat yang berbeda-beda.
Pemberian istilah
tersebut sebagai pengahargaan atas jasa mereka. Kemunculan istilah tersebut
setelah para sunan tersebut wafat, karena itu yang memberikan istilah tersebut
adalah generasi setelahnya. Sehingga tidak dapat dipastikan tepatnya kapan
istilah ini muncul. Menurut R. Tanojo
istilah ini diciptakan dan dipopulerkan oleh Sunan Giri II yang menggunakannya
dalam judul kitabnya. Sedangkan menurut Prof. Dr. Simuh kemunculannya
bertepatan dengan zaman Mataram, yang diduga memunculkan istilah tersebut dalam
karya sastra Jawa tentang Wali Songo.
Sedangkan menurut
sejarawan asing, terbagi dua kelompok. Pertama adalah C.C. Berg yang memandang
bahwa kisah Wali Songo merupakan kisah fiktif, tidak memiliki landasan sejarah.
Sedangkan yang kedua adalah H.J. de Graff yang berpandangan bahwa kisah Wali Songo
dapatlah diterima selama tidak bertentangan dengan pengetahuan modern dan tidak
memuat hal-hal ghaib.
Tokoh
–Tokoh Wali Songo
Wali
Songo adalah sebuah perkumpulan dewan. Kata “sanga” tidak selalu menunjukkan bilangan
sembilan. Sebab tidak semua sunan hidup sezaman dan berbeda tempat dakwahnya.
Secara umum diantaranya sembilan tokoh yang masyhur;
Pertama, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),
wali pertama yang mendirikan pondok pesantren. Konsep pesantren kemudian diikuti
dan dikembangkan oleh para wali lainnya. Dalam pesantren tidak sekedar
mempelajari ilmu agama semata, namun disiapkan secara fisik dan mental untuk
nanti turun ke medan dakwah dan menjadi prajurit yang mempunyai wawasan
keilmuan yang mumpuni.
Ketiga adalah Maulan Makhdum Ibrahim (Sunan
Bonang). Ia dalam dakwahnya berusaha untuk memasukan pengaruh Islam ke kalangan
bangsawan keraton Majapahit, karena itu ia termasuk penyokong dari kerajaan Demak dan
ikut membantu dalam pembangunan masjid di kota Demak. Ia sendiri juga mendidik
Raden Patah, seorang keturunan raja Majapahit yang menjadi sultan Demak
pertama.
Keempat adalah Raden Paku (Sunan Giri), yang
sebelumnya sempat berguru kepada Sunan Ampel. Setelah wafatnya Raden Rahmat,
Ampel dan Gresik bergabung menjadi Giri. Hubungan
Giri dan kerajaan sebagaimana Sunan Ampel dengan Brawijaya (raja Majapahit). Barulah
pada 1518 berdiri Kerajaan Demak yang didukung oleh Giri. Ketika itu Kerajaan Demak yang berdiri
didukung oleh ulama Giri, yang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada
Sunan Ampel. Kekuasaan Demak ini jauh lebih besar serta
dapat memainkan peranan penting dalam keagamaan hingga menjadikan pusat politik
Jawa berpindah ke Demak. Adapun pesantren yang telah didirikan berkembang
menjadi semacam komunitas yang dipimpin oleh Sunan Giri, yang mana yang
memiliki otoritas dalam mengurusi permasalahan agama sampai politik. Giri yang
memiliki wewenang tinggi sehingga menjadikan kerajaan berjalan sesuai dengan
Islam. Menurut J.P. Coen Giri ini seperti paus, yaitu seorang pandito Ratu.
Kelima, Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat), putera Sunan
Ampel. Dalam dakwah dan sikap hidupnya yang lebih bersifat sosial, sehingga
dijadikan contoh dan suri tauladan oleh masyarakat setempat. Keenam adalah Ja’far Shadiq (Sunan
Kudus), Sunan Kudus terkenal sebagai ulama besar yang mengusai berbagai bidang
keilmuan sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya, waliyul ilm. Diantara ilmu yang dikuasainya; ilmu ushul hadist,
ilmu tasfir al-Qur’an, ilmu sastra, matiq dan ilmu fiqih.
Ketujuh Raden Said (Sunan Kalijaga), ia berhasil memasukan
pengaruh Islam kedalam kebiasaan orang Jawa. Ia menciptakan wayang kulit dan
mengarang buku-buku wayang yang mengandung corak keislaman didalamnya. Media dakwah yang digunakan adalah wayang,
dan memang saat itu merupakan suatu yang cukup efektif, seperti halnya media
sosial saat ini. ia juga bereran dalam bidang politik sejak berdirinya
Kesultanan Demak.
Kedelapan adalah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Ia
diangkat oleh Sultan Demak untuk menjadi seorang penguasa di Cirebon, kemudian
ia pun menyebarkan Islam disana. Peran beliau cukup banyak diantaranya berhasil
menggagalkan pendaratan Portugis yang hendak mendirikan benteng di Sunda
Kelapa.
Kesembilan adalah Raden Prawoto (Sunan Muria), yang merupakan
seorang sufi. Ia mengajarkan tasawuf, dan hal tersebut tercermin dalam
pribadinya, yag mengabdikan dirinya kepada Allah dengan rasa cintanya.
Adapun tokoh lainnya seperti Syeikh Jumadil Kubra, yang merupakan kakeknya Sunan Ampel dan juga guru dari sunan-sunan lainnya. Ada juga yang berpedapat bahwa Syeikh Siti Jenar juga masuk dalam Wali Songo, namun ia merupakan tokoh yang kontroversial yang dihukum oleh para wali lainnya disebabkan menyebarkan ajaran sesat.
Sumber
Dalam penulisan sejarah
tidak dapat terlepas dari rekaman sejarah, baik dalam bentuk lisan atau pun
tulisan. Sumber-sumber ini terbagi dua, sumber primer dan sekunder. Sumber
primer merupakan sumber yang ditulis sezaman dengan peristiwa tersebut,
sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang ditulis tidak sezaman dengan
peristiwa tersebut. Nilai keduanya berbeda, semakin dekat sumber tersebut
dengan zaman terjadinya peristiwa maka semakin berbobot dan bernilai. Maka
dibawah ini akan dikemukakan beberapa sumber sejarah Wali Songo.
a. a) Suma Oriental
Ditulis oleh Tome
Pires, seorang pembantu Alfonso de Alburqueque. Ketika Alfonso melakukan
penyerangan, ia ditugaskan sebagai pengedar arak hingga akhirnya disuruh
menulis laporan perdagangan Malaka dan Jawa. Maka buku ini merupakan laporan
resmi kepada raja yang bersifat rahasia saat itu, sebab terkait dengan potensi
peluang ekonomi. Ini merupakan sumber primer untuk sejarah Asia Tenggara pada
awal abad ke-16. Ia menuliskan singkat dinamika politik Jawa, serta
menceritakan penguasa di pesisir Utara Jawa telah masuk Islam. Namun
didalamnya, Islam digambarkan negatif, karena pada dasarnya ia bukanlah seorang
Muslim dan membenci Islam sehingga menghasilkan pandangan negatif.
b. b) Kitab Bonang
Naskah ini
ditemukan pada tahun 1597 di Pelabuhan Jawa, dan dipublikasikan pada tahun 1916
oleh B.J. Schrieke dengan judul Het Boek
van Bonang. Isinya merepresentasikan ajaran Wali Songo, terkait akidah,
tasawuf dan lainnya, serta menunjukan adanya keterpengaruhan dengan ajaran Imam
al-Ghazali dan beberapa ulama. Namun ada perbedaan pendapat terkait siapa
penulisnya, apakah Sunan Bonang atau Syeikh Bari.
Pendapat yang
menyatakan Sunan Bonang, didukung oleh Schrieke dan Hoesain Djajaningrat, mereka
melihat dari usia naskah, kesesuaian isi naskah dengan ajaran dari Sunan Bonang,
dan adanya tulisan nama pengarang pada akhir naskah (Pangeran ing Bonang). Ada
pun pendapat yang menyatakan Syeikh Bari didukung oleh Kraemer, dan G.W.
Drewes, dengan alasan isi naskah tersebut berbicara tentang Syeikh Bari yang merupakan
guru agama di (karang Banten?) dan menyampaikan ajaran para wali.
c. c) Babad Tanah Jawi
Merupakan kitab
sastra untuk memberikan legitimasi atau pujian kepada para raja Mataram, sehingga
tercampur antara cerita sastra dan sejarahnya. Menurut de Graff terdapat data
sejarah yang dapat dipercayai pada tahun 1580, yang mengulas Kerajaan Panjang.
Namun setelah tahun itu ia tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah karena
terlalu serat dengan campuran dongeng. Menurut Taufik Abdullah ini merupakan histiografi
tradisional, sebab mengandung unsur sastra, mitologi dan sejarah. Buku ini
menjadi sumber sejarah yang sering dirujuk katika membahas islamisasi Jawa dan
sejarah Wali Songo sebab didalamya disebut nama para wali.
d. d) Serat Suluk Walisana
Pada mulanya teks
ini dikarang oleh Sunan Giri II, tapi kemudian ditulis ulang oleh Hardjawidjaja
di Batavia pada tahun 1918. Pada teks ini sudah muncul istilah Wali Songo, dan
menjadi judul dari serat ini. Didalamnya menceritakan nama dan kisah para wali
yang juga diceritakan dalam Babad Tanah Jawi.
e. e) The History of Java
Dituliskan oleh
Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jawa. Ia menuliskan detail
terkait Jawa sejak zaman kuno yang bersumber dari naskah-naskah kuno yang
dirampoknya dari keraton. Bahkan ia beranggapan bahwa tidak mungkin ada seorang
yang lebih mengetahui Jawa dibanding dirinya. Buku ini sering dirujuk oleh
sejarawan sebab banyak bahan bersumber dari babad. Ia juga menceritakan beberapa
wali dan kiprah mereka di masyarakat.
f. f) Min Nasyr al-Islam fii Junuubi Syarq Asiia
Buku ini
dituliskan oleh Habib Abdullah bin Abdul Qadir al-Habsyi Ba’lawi. Buku ini
berusaha untuk membantah asumsi Snouck Hurgronje yang kerap mengerdilkan peran
bangsa Arab dalam Islamisasi. Padahal para wali tersebut masih keturunan Arab
dan mereka melanjutkan dakwah yang telah dirintis oleh para leluhur mereka
sebelumya. Maka dengan penulisan buku ini merupakan upaya membantah anggapan
Snouck yang kerap menunjukan Islam dating bukan dari Arab, dan sudah tercampur dengan
ajaran lainnya.
Masih banyak lagi
sumber-sumber terkait Wali Songo dan peran mereka. Namun dapat disimpulkan bahwa
sejarah Wali Songo merupakan suatu hal yang menarik dan menjadi perhatian. Wali
Songo merupakan sosok historis, yang dapat dilacak jejaknya. Terdapat dua fakta
berdasarkan data-data sumber yaitu fakta keras, yang mana keberadaaannya itu qathi’, dan fakta lunak yang detail
cerita Wali Songo itu dzanni.
Geneologi Wali Songo
Dalam histiografi
taradisional mengatakan bahwa Wali Songo merupakan keturunan dari Arab, bahkan
keturunan Rasulullah. Kedatangan para wali ini tidaklah tiba-tiba, namun dalam
rangka meraaikan jaringan islamisasi Nusantara. Sebelumnya memang antara Arab
dan Asia sudah memiliki hubungan baik dalam perdangangan. Kemudian pada abad ke
7-8 M, orang Arab yang lari dari penindasan Bani Umayyah. Berlanjut pada abad
ke 13, setelah keruntuhan Abbasiyah, jalur darat terganggu sehingga jalur laut
semakin ramai (Laut Merah sampai Samudera Hindia). Jalur perdagangan semakin
ramai, dan tidak sedikit yang menetap dan Islam pun tersebar di Nusantara. Pada
abad ini pula (abad 13 – 16) merupakan zaman keemasan perdagangan di Nusantara,
yang mana antar bangsa-bangsa saling menghormati dan memberikan pengaruh budaya
yang positif. Ada pun peran yang dimainkan oleh para wali akan dijelaskan
dibawah ini.
a. a) Islamisasi
Berawal dari tiga tahap,
pertama kedatangan Islam dengan adanya kontak antara daerah yang diislamkan
dengan orang Islam. Kedua, penerimaan Islam dengan berdirinya kerajaan Islam
yang kemudian keislamannya diikuti oleh rakyatnya. Ketiga, penyebaran lebih
lanjut yang mana kerajaan Islam tersebut menjadi pusat penyebaran Islam.
Melakukan islamisasi dimulai dari Barat menuju Timur, sehingga masuknya Islam
ke daerah-daerah tertentu seperti pedalaman berbeda masanya dengan daerah
lainnya. Terdapat pengaruh dalam bahasa Arab yang dapat dilihat dari bukti
sejarah seperti prasasti.
Penulisan sejarah
Wali Songo kerap menemui banyak perdebatan. Dimulai dari istilah ‘Wali Songo’
sendiri, yang ada banyak perdebatan asal kata tersebut, sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya. Terlepas berasal dari kata sanga, sana, atau pun sangha,
ada point yang dapat diambil yaitu islamisasi yang mereka lakukan. Mereka
mengadopsi istilah-istilah Hindu-Budha, namun maknanya disesuaikan dengan
pandangan Islam. Misalnya kata ‘pesantren’ yang kebanyakan orang mengenalnya
sebagai sistem pendidikan milik Islam. Pada mulanya pesantren berasal dari
Hindu-Budha (sansekerta), namun maknanya dirubah dan disesuaikan dengan konsep
lembaga pendidikan kita. Begitu pentingnya bahasa, karena didalamnya terkandung
makna yang menghasilkan pemahaman. Ketika suatu bahasa diubah maknanya, maka
pemahaman tentang suatu kata pun akan berubah. Dengan bahasa kita memahami
agama, dan ketika bahasa tersebut rusak maka rusaklah agama.
Kemudian para wali
pun kerap melakukan islamisasi dalam kebudayaan. Dapat dilihat dalam kebudayaan
atau tradisi mereka sebelum datangnya Islam. Misalnya masyarakat kerap
melakukan kanibalisme yang bertujuan untuk mengambil alih ‘energi kehidupan’
dari musuh yang terbunuh, atau pun dengan bhairawatantra, yang mendasar pada ma
lima (matsya, mansa, madya, maithuna). Maka para wali berinisiatif mengganti,
misalnya dengan tradisi apeman atau lain sebagainya, yang hingga kini masih
dilakukan oleh masyarakat Jawa umumnya.
b. b) Gerak Dakwah
Hubungan Arab-Jawa
sudah terjalin sejak lama. Pada tahun 600M, pengaruh Arab sudah terasa di
Sumatera. Motif keagamaan menjadikan perdagangan sebagai jalan perintis bagi
penyebaran Islam. Perdagangan dan dakwah berjalan beriringan, misalnya seperti
Malaka yang diambil bukan ekonomi namun sebagai pos dakwah.
WaliSongo bukanlah
pihak pertama yang melakukan dakwah, namun mereka melanjutkan apa yang telah
dirintis oleh para pendahulu mereka. Mereka diingat oleh masyarakat dikarenakan
dakwah mereka lebih sukses dan merupakan puncak dari keberhasilan dakwah.
Kesuksesan berasal dari proses yang panjang dan memanfaatkan peluang dan
potensi mereka. Pada mulanya mereka berperan sebagai pedangang kemudian
penerimaan Islam oleh masyarakat. Proses yang lama karena melalui jalur damai,
dakwah pun didorong oleh kekuatan politik dan kaum bangsawan. Ada pun cara yang
ditempuh melalui jalur pendidikan, kebudayaan, politik dan lainnya.
Pertama, melalui
jalur pendidikan dengan membangun jaringan pesantren. Menurut Denys Lombard;
“Sebagai sebuah lembaga yang mandiri dari sudut ekonomi dan hukum, pesantren-pesantren
akhirnya membentuk jaringan luas dari ujung pulau bahkan hingga ke Timur
Tengah.”
Pesantren
dikatakan bahwa ia mencontoh lembaga pendidikan Hindu-Budha. Bahkan pesantren
merupakan salah satu bentuk dari islamisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari
kata ‘santri’ yang menurut C.C Berg berasal dari shastri, bahasa India yang masih satu akar kata dengan shastra yang berarti kitab suci, agama,
buku pengetahuan.
Perancang pesantren
pertama di Jawa oleh Maulana Malik Ibrahim, yang merupakan utusan dari Pasai,
sebagai perwakilan Guru Besar Pasai ke Gresik. Konsep ini kemudian diikuti oleh
para wali yang lainnya. Pesantren tidak sekedar mempelajari agama namun melatih
intelektual dan jiwa para santri. Ada pun fungsinya tidak sekedar lembaga
intelektual saja, namun sebagai pos dakwah dan lembaga sosial tersendiri.
Di bawah kepemimpinan Wali Songo,
pesantren di pesisir berkembang menjadi pusat keislaman, pembelajaran serta
menjadi basis sosial politik masyarakat muslim Jawa kala itu. Diantara
pesantren di pesisir adalah Giri. Ia
menjadi pusat dari kebudayaa Islam pesisir dan menjalankan ekspansi ekonomi ke
berbagai wilayah Indonesia. Tempatnya yang strategis membuat banyak pedagang
memjadi muslim, yang kemudian Islam pun semakin tersebar luas. Hal itu disebabkan
para pedagang muslim mealanjutkan esatafet dakwah. Giri berperan
banyak dalam penyebaran Islam, dengan menempuh berbagai jalur dakwah, dan hal
tersebut tidak dapat dilepas dari peran para walinya.
Kedua, melalui
jalur politik. Para wali tersebut tidak hanya memainkan peran dalam bidang
pendidikan saja, namun politik. Dapat dilihat salah satunya dari Raden Rahmat
atau Sunan Ampel, melalui jalur pernikahan dengan putri-putri penguasa
Majapahit sebagai salah satu metodenya. Terjalinnya hubungn baik dengan raja,
ia pun meminta izin untuk menyebarkan Islam di wilayah sekitar kerajaan. Raja
pun mengizinkan bahkwan mendukungnya asal tidak ada paksaan dalam dakwahnya. Sunan
Ampel pun diberikan tanah pradikan di Ampel, yang kemudian berdirilah masjid
untuk ibadah sekaligus tempat pengajaran. Masjid tersebut berkembang dan
menjadi awal mula adanya pesantren di Jawa.
Tujuan
Dakwah
Para Wali walau tidak
semuanya sehidup sezaman, namun mereka memiliki kesatuan tujuan dasar
perjuangan. Mereka juga sama dalam ideology dan sealiran, yaitu tasawuf dan
Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, serta maksud tujuan akan dakwah pun sama. Terlihat
dari samanya pendapat dan kesamaan dalam berdakwah, walau bidang dakwah mereka
berbeda-beda tidak jadi suatu penghalang. Strategi yang dilakukan Wali Songo
adalah mengajak manusia ke jalan Allah dengan memanfaatkan segala sumber daya
yang dimiliki. Ada pun tujuannya;
Pertama, mereka bertujuan
menanamkan akidah yang mantap di setiap hati seseorang. Sehingga keyakinan ajaran
Islam tidak tercampur dengan rasa keraguan. Misalnya seperti upaya Wali Songo
dalam rangka menanamkan akidah kepada masyarakat Jawa dengan memunculkan
kisah-kisah para sunan yang sakti sebagaimana mitologi Hindu dulu. Dengan
begitu akan menarik perhatian masyarakat.
Kedua, bertujuan
menegakan hukum. Dakwah harus mengikuti hukum syariat Allah yang ditegakan oleh
Rasulullah saw. Salah satu upaya para wali dalam menyebarkan nilai-nilai Islam
kepada masyarakat Jawa adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran
Yoga-Tantra yang berasaskan Malima.
Ketiga, adalah dengan
menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Jawa. Sehingga terbentuk
pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan
bersih dari sifat tercela. Para Wali dalam menanamkan dakwah Islam di tanah
Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijak.
Ajaran
Wali Songo
Diantara narasi
mengatakan bahwa Wali Songo menganut syiah, dan terlibat pertentangan dengan Sunni
(Sunan Ampel, Giri, dan Drajat). Untuk melerai maka Sunan Bonang mengambil
jalan tengah. Namun apakah benar bahwa para wali tersebut ada yang menganut
syiah dan terlibat konflik? Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya Sunan
Bonang yang merepresentasikan ajaran Wali Songo lainnya.
Karena itu ajaran para
wali terlihat jelas dalam kitab Bonang. Adapun latar belakang penulisan kitab
tersebut, pertama transisi poitik dari Majapahit ke Demak, kedua revolusi
dakwah Islam di Jawa, ketiga pengaruh Bhairawatantra di masyarakat, keempat ada
beberapa dai yang membawa ajaran menyimpang dari negrinya.
Kemudian isi dari kitab
Bonang tentang ajaran yang benar dan ajaran sesat yang mesti dijauhi, dan
berbentuk dialog antara Syeikh Bari dan Rijalullah. Serta merekam ajaran wirasaning ushul suluk, yang berisi
akidah dan akhlak. Serta merepresentasikan ajaran Wali Songo, terkait akidah,
tasawuf dan lainnya, serta menunjukan adanya keterpengaruhan dengan ajaran Imam
al-Ghazali dan beberapa ulama.
Kesimpulan
Sebelum munculnya Wali
Songo, sudah ada dai-dai lainnya yang datang dan menyebarkan Islam di Nusantara
ini. Namun nama mereka yang kerap disebutkan sebab mereka memiliki peran dan
jasa yang banyak. Diantaranya mereka sukses dalam berdakwah, sehingga dijadikan
model atau teladan dalam berdakwah ditengah masyarakat. Dakwah Wali Songo hendaknya
dipandang sebagai sebuah proses. Dalam tahapan dakwah kala itu berhasil. Adapun
alasan mengapa bisa berhasil, disebabkan kebersamaan, kepatuhan terhadap
bimbingan ulama, keteladanan yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah,
kemampuan, perencanaan yang akurat, pengorganisasian yang matang, dan tidak
menafikan keberadaan Allah Swt.
Proses dakwah yang
berhasil bukan berarti berhenti begitu saja, namun seperti halnya tobgkat
estafet masih terus berjalan hingga kini. Menggaung di zamannya dan melampaui
masanya, namun butuh sentuhan berkesinambungan dari generasi berikutnya.
Sesungguhnya sentuhan berkesinambungan yang dimaksud adalah tindakan pada
setiap generasi untuk membangun tradisi dakwah. Hakikatnya dakwah adalah proses
estafeta dan alih generasi dari masa ke masa.
Keberhasilan taktik dan dakwah Walisongo disebabkan
karena beberapa hal diantaranya; pertama, dakwah mereka dengan konsep
yang pas. Kedua, dakwah yang mereka lakukan dengan penuh keuletan,
keikhlasan, kesediaan berkorban. Ketiga, kegiatan dakwah mereka
didasarkan pada perhitungan yang riil dan rasional. Keempat, kegiatan
dakwah mereka memperhatikan masyarakat yang dihadapi. Dan kelima, dakwah
mereka dengan cara bijaksana tidak menyinggung perasaan. Keenam, para
Wali menggunakan kecakapan dan kepandaian yang ada pada mereka.
Komentar
Posting Komentar