Islamisasi Jawa II

 Islamisasi dan Gerak Dakwah Wali Songo

oleh: Shofiyah Hafizhah I.

Banyak masyarakat umum yang beranggapan bahwa Islam baru masuk dan berkembang pada masa akhir kerajaan Majapahit. Para orientalis kerap menekankan bahwa Islam tidaklah membawa perubahan yang mendasar dalam peradaban Nusantara ini. Padahal Islam memiliki peran yang begitu besar, dalam bidang tasawuf, intelektual, dan lainnya. Tidak sedikit yang berperan dalam menyebarkan Islam di Nusantara, salah satunya Wali Songo.

Mereka merupakan sosok historis yang menyebarkan Islam di Nusantara ini. Sebenarnya melakukan penyebaran Islam bukan mereka saja, tetapi mereka memiliki jasa yang begitu banyak. Diantaranya mereka sukses dalam berdakwah, sehingga dijadikan model atau teladan dalam berdakwah ditengah masyarakat. Namun banyak yang menyangka bahwa kisah mereka merupakan hoax, tidak memiliki landasan sejarah. Apakah benar begitu? Maka penulisan ini untuk menjelaskan Wali Songo, disertai dengan bukti sejarahnya dan peran yang mereka mainkan dalam melakukan islamisasi dan dakwah.

Histiografi Wali Songo

Histiografi merupakan satu proses untuk menyusun data-data menjadi suatu tulisan sejarah. Namun sejarah dalam penulisan sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu. Dalam menyusun dan menata ulang kejadian sejarah dibutuhkannya jejak atau sumber sejarah mutlak, baik dalam bentuk tulisan atau pun lisan. Tanpa hal tersebut maka sejarawan tidak dapat menuliskannya. Ini menunjukan bahwa cerita sejarah bukanlah cerita sastra, yang dapat dikarang oleh sang penulis, namun dibutuhkannya sumber primer dan sekunder dalam penulisannya.

Maka dengan mempelajari histiografi, kita dapat mengetahui bagaimana cerita sejarah ditulis dan dikembangkan. Sebab dalam sumber-sumber sejarah terkadang tercampur antara kisah fiktif dengan kisah sejarah. Sehingga diharapakan dapat bijak dalam menilai dan memilah kisah sejarah, karena peliknya sejarah adalah harus dapat menggambarkan dengan jelas jalannya sejarah.

Penulisan sejarah Wali Songo kerap menemui banyak perdebatan. Dimulai dari istilah ‘Wali Songo’ sendiri, yang ada banyak perdebatan asal kata tersebut. Ada sebagian yang berpendapat bahwa berasal dari kata sanga, yang merupakan symbol kesempurnaan dan kointinuitas dari konsep siwanasawasanga. Sebagian mengatakan berasal dari kata sana yang berasal dari kata Jawa kuno yang menunjukan tempat. Sebagian lainnya berpendapat dari istilah budha, sangha yang berarti perkumpulan para biksu. Namun menurut Edi Sedyawati, Wali Songo merupakan istilah simbolis, sebab mereka tidak semua sehidup sezaman, bahkan berasal dari tempat yang berbeda-beda.

Pemberian istilah tersebut sebagai pengahargaan atas jasa mereka. Kemunculan istilah tersebut setelah para sunan tersebut wafat, karena itu yang memberikan istilah tersebut adalah generasi setelahnya. Sehingga tidak dapat dipastikan tepatnya kapan istilah ini muncul. Menurut R.  Tanojo istilah ini diciptakan dan dipopulerkan oleh Sunan Giri II yang menggunakannya dalam judul kitabnya. Sedangkan menurut Prof. Dr. Simuh kemunculannya bertepatan dengan zaman Mataram, yang diduga memunculkan istilah tersebut dalam karya sastra Jawa tentang Wali Songo.

Sedangkan menurut sejarawan asing, terbagi dua kelompok. Pertama adalah C.C. Berg yang memandang bahwa kisah Wali Songo merupakan kisah fiktif, tidak memiliki landasan sejarah. Sedangkan yang kedua adalah H.J. de Graff yang berpandangan bahwa kisah Wali Songo dapatlah diterima selama tidak bertentangan dengan pengetahuan modern dan tidak memuat hal-hal ghaib.

Tokoh –Tokoh Wali Songo

Wali Songo adalah sebuah perkumpulan dewan. Kata “sanga” tidak selalu menunjukkan bilangan sembilan. Sebab tidak semua sunan hidup sezaman dan berbeda tempat dakwahnya. Secara umum diantaranya sembilan tokoh yang masyhur;

Pertama, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), wali pertama yang mendirikan pondok pesantren. Konsep pesantren kemudian diikuti dan dikembangkan oleh para wali lainnya. Dalam pesantren tidak sekedar mempelajari ilmu agama semata, namun disiapkan secara fisik dan mental untuk nanti turun ke medan dakwah dan menjadi prajurit yang mempunyai wawasan keilmuan yang mumpuni.

Kedua Raden Rahmat (Sunan Ampel), ia merupakan wali kedua setelah Maulana Malik Ibrahim, dan diduga memiliki hubungan darah antara keduanya, sebab keduanya berasal dari Campa. Sunan Ampel menempuh dakwah melalui politik, dengan menikahkan para putri-putri Majapahit, dan ia menjalin hubungan baik antara keduanya. Hal tersebut dapat dilihat dari tanah pradikan yang diberikan raja Majapahit sebagai bentuk dukungan dakwah yang dilakukan Sunan Ampel.

Ketiga adalah Maulan Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang). Ia dalam dakwahnya berusaha untuk memasukan pengaruh Islam ke kalangan bangsawan keraton Majapahit, karena itu ia  termasuk penyokong dari kerajaan Demak dan ikut membantu dalam pembangunan masjid di kota Demak. Ia sendiri juga mendidik Raden Patah, seorang keturunan raja Majapahit yang menjadi sultan Demak pertama.

Keempat adalah Raden Paku (Sunan Giri), yang sebelumnya sempat berguru kepada Sunan Ampel. Setelah wafatnya Raden Rahmat, Ampel dan Gresik bergabung menjadi Giri. Hubungan Giri dan kerajaan sebagaimana Sunan Ampel dengan Brawijaya (raja Majapahit). Barulah pada 1518 berdiri Kerajaan Demak yang didukung oleh Giri. Ketika itu Kerajaan Demak yang berdiri didukung oleh ulama Giri, yang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada Sunan Ampel. Kekuasaan Demak ini jauh lebih besar serta dapat memainkan peranan penting dalam keagamaan hingga menjadikan pusat politik Jawa berpindah ke Demak. Adapun pesantren yang telah didirikan berkembang menjadi semacam komunitas yang dipimpin oleh Sunan Giri, yang mana yang memiliki otoritas dalam mengurusi permasalahan agama sampai politik. Giri yang memiliki wewenang tinggi sehingga menjadikan kerajaan berjalan sesuai dengan Islam. Menurut J.P. Coen Giri ini seperti paus, yaitu seorang pandito Ratu.

Kelima, Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat), putera Sunan Ampel. Dalam dakwah dan sikap hidupnya yang lebih bersifat sosial, sehingga dijadikan contoh dan suri tauladan oleh masyarakat setempat. Keenam adalah Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Sunan Kudus terkenal sebagai ulama besar yang mengusai berbagai bidang keilmuan sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya, waliyul ilm. Diantara ilmu yang dikuasainya; ilmu ushul hadist, ilmu tasfir al-Qur’an, ilmu sastra, matiq dan ilmu fiqih.

Ketujuh Raden Said (Sunan Kalijaga), ia berhasil memasukan pengaruh Islam kedalam kebiasaan orang Jawa. Ia menciptakan wayang kulit dan mengarang buku-buku wayang yang mengandung corak keislaman didalamnya.    Media dakwah yang digunakan adalah wayang, dan memang saat itu merupakan suatu yang cukup efektif, seperti halnya media sosial saat ini. ia juga bereran dalam bidang politik sejak berdirinya Kesultanan Demak.

Kedelapan adalah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Ia diangkat oleh Sultan Demak untuk menjadi seorang penguasa di Cirebon, kemudian ia pun menyebarkan Islam disana. Peran beliau cukup banyak diantaranya berhasil menggagalkan pendaratan Portugis yang hendak mendirikan benteng di Sunda Kelapa.

Kesembilan adalah Raden Prawoto (Sunan Muria), yang merupakan seorang sufi. Ia mengajarkan tasawuf, dan hal tersebut tercermin dalam pribadinya, yag mengabdikan dirinya kepada Allah dengan rasa cintanya.

Adapun tokoh lainnya seperti Syeikh Jumadil Kubra, yang merupakan kakeknya Sunan Ampel dan juga guru dari sunan-sunan lainnya. Ada juga yang berpedapat bahwa Syeikh Siti Jenar juga masuk dalam Wali Songo, namun ia merupakan tokoh yang kontroversial yang dihukum oleh para wali lainnya disebabkan menyebarkan ajaran sesat.

Sumber

Dalam penulisan sejarah tidak dapat terlepas dari rekaman sejarah, baik dalam bentuk lisan atau pun tulisan. Sumber-sumber ini terbagi dua, sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan sumber yang ditulis sezaman dengan peristiwa tersebut, sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang ditulis tidak sezaman dengan peristiwa tersebut. Nilai keduanya berbeda, semakin dekat sumber tersebut dengan zaman terjadinya peristiwa maka semakin berbobot dan bernilai. Maka dibawah ini akan dikemukakan beberapa sumber sejarah Wali Songo.

a.      a) Suma Oriental

Ditulis oleh Tome Pires, seorang pembantu Alfonso de Alburqueque. Ketika Alfonso melakukan penyerangan, ia ditugaskan sebagai pengedar arak hingga akhirnya disuruh menulis laporan perdagangan Malaka dan Jawa. Maka buku ini merupakan laporan resmi kepada raja yang bersifat rahasia saat itu, sebab terkait dengan potensi peluang ekonomi. Ini merupakan sumber primer untuk sejarah Asia Tenggara pada awal abad ke-16. Ia menuliskan singkat dinamika politik Jawa, serta menceritakan penguasa di pesisir Utara Jawa telah masuk Islam. Namun didalamnya, Islam digambarkan negatif, karena pada dasarnya ia bukanlah seorang Muslim dan membenci Islam sehingga menghasilkan pandangan negatif.

b.      b) Kitab Bonang

Naskah ini ditemukan pada tahun 1597 di Pelabuhan Jawa, dan dipublikasikan pada tahun 1916 oleh B.J. Schrieke dengan judul Het Boek van Bonang. Isinya merepresentasikan ajaran Wali Songo, terkait akidah, tasawuf dan lainnya, serta menunjukan adanya keterpengaruhan dengan ajaran Imam al-Ghazali dan beberapa ulama. Namun ada perbedaan pendapat terkait siapa penulisnya, apakah Sunan Bonang atau Syeikh Bari.

Pendapat yang menyatakan Sunan Bonang, didukung oleh Schrieke dan Hoesain Djajaningrat, mereka melihat dari usia naskah, kesesuaian isi naskah dengan ajaran dari Sunan Bonang, dan adanya tulisan nama pengarang pada akhir naskah (Pangeran ing Bonang). Ada pun pendapat yang menyatakan Syeikh Bari didukung oleh Kraemer, dan G.W. Drewes, dengan alasan isi naskah tersebut berbicara tentang Syeikh Bari yang merupakan guru agama di (karang Banten?) dan menyampaikan ajaran para wali.

c.       c) Babad Tanah Jawi

Merupakan kitab sastra untuk memberikan legitimasi atau pujian kepada para raja Mataram, sehingga tercampur antara cerita sastra dan sejarahnya. Menurut de Graff terdapat data sejarah yang dapat dipercayai pada tahun 1580, yang mengulas Kerajaan Panjang. Namun setelah tahun itu ia tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah karena terlalu serat dengan campuran dongeng. Menurut Taufik Abdullah ini merupakan histiografi tradisional, sebab mengandung unsur sastra, mitologi dan sejarah. Buku ini menjadi sumber sejarah yang sering dirujuk katika membahas islamisasi Jawa dan sejarah Wali Songo sebab didalamya disebut nama para wali.

d.      d) Serat Suluk Walisana

Pada mulanya teks ini dikarang oleh Sunan Giri II, tapi kemudian ditulis ulang oleh Hardjawidjaja di Batavia pada tahun 1918. Pada teks ini sudah muncul istilah Wali Songo, dan menjadi judul dari serat ini. Didalamnya menceritakan nama dan kisah para wali yang juga diceritakan dalam Babad Tanah Jawi.

e.      e) The History of Java

Dituliskan oleh Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jawa. Ia menuliskan detail terkait Jawa sejak zaman kuno yang bersumber dari naskah-naskah kuno yang dirampoknya dari keraton. Bahkan ia beranggapan bahwa tidak mungkin ada seorang yang lebih mengetahui Jawa dibanding dirinya. Buku ini sering dirujuk oleh sejarawan sebab banyak bahan bersumber dari babad. Ia juga menceritakan beberapa wali dan kiprah mereka di masyarakat. 

f.        f) Min Nasyr al-Islam fii Junuubi Syarq Asiia

Buku ini dituliskan oleh Habib Abdullah bin Abdul Qadir al-Habsyi Ba’lawi. Buku ini berusaha untuk membantah asumsi Snouck Hurgronje yang kerap mengerdilkan peran bangsa Arab dalam Islamisasi. Padahal para wali tersebut masih keturunan Arab dan mereka melanjutkan dakwah yang telah dirintis oleh para leluhur mereka sebelumya. Maka dengan penulisan buku ini merupakan upaya membantah anggapan Snouck yang kerap menunjukan Islam dating bukan dari Arab, dan sudah tercampur dengan ajaran lainnya.

Masih banyak lagi sumber-sumber terkait Wali Songo dan peran mereka. Namun dapat disimpulkan bahwa sejarah Wali Songo merupakan suatu hal yang menarik dan menjadi perhatian. Wali Songo merupakan sosok historis, yang dapat dilacak jejaknya. Terdapat dua fakta berdasarkan data-data sumber yaitu fakta keras, yang mana keberadaaannya itu qathi’, dan fakta lunak yang detail cerita Wali Songo itu dzanni.

Geneologi Wali Songo

Dalam histiografi taradisional mengatakan bahwa Wali Songo merupakan keturunan dari Arab, bahkan keturunan Rasulullah. Kedatangan para wali ini tidaklah tiba-tiba, namun dalam rangka meraaikan jaringan islamisasi Nusantara. Sebelumnya memang antara Arab dan Asia sudah memiliki hubungan baik dalam perdangangan. Kemudian pada abad ke 7-8 M, orang Arab yang lari dari penindasan Bani Umayyah. Berlanjut pada abad ke 13, setelah keruntuhan Abbasiyah, jalur darat terganggu sehingga jalur laut semakin ramai (Laut Merah sampai Samudera Hindia). Jalur perdagangan semakin ramai, dan tidak sedikit yang menetap dan Islam pun tersebar di Nusantara. Pada abad ini pula (abad 13 – 16) merupakan zaman keemasan perdagangan di Nusantara, yang mana antar bangsa-bangsa saling menghormati dan memberikan pengaruh budaya yang positif. Ada pun peran yang dimainkan oleh para wali akan dijelaskan dibawah ini.

a.      a) Islamisasi

Berawal dari tiga tahap, pertama kedatangan Islam dengan adanya kontak antara daerah yang diislamkan dengan orang Islam. Kedua, penerimaan Islam dengan berdirinya kerajaan Islam yang kemudian keislamannya diikuti oleh rakyatnya. Ketiga, penyebaran lebih lanjut yang mana kerajaan Islam tersebut menjadi pusat penyebaran Islam. Melakukan islamisasi dimulai dari Barat menuju Timur, sehingga masuknya Islam ke daerah-daerah tertentu seperti pedalaman berbeda masanya dengan daerah lainnya. Terdapat pengaruh dalam bahasa Arab yang dapat dilihat dari bukti sejarah seperti prasasti.

Islamisasi terjadi dalam banyak aspek, salah satunya dalam bidang bahasa. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan mempelajari suatu ilmu. Bahasa merupakan aspek penting sebab ia pintu masuknya pemikiran. Ia merupakan cerminan pemikiran seseorang, semakin tinggi ilmunya maka bahasanya pun semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Bukan sekedar kata-kata yang tersusun menjadi sebuah kalimat, tetapi didalamnya terkandung makna yang menjadi sebuah pemahaman. Menurut al-Attas, perubahan dalam bahasa adalah perubahan makna yang terkadung di dalamnya. Serta merupakan pengenalan atas segala sesuatu dalam sebuah sistem hubungan sehingga ia menjadi sebuah pemahaman. Hal itu dilakukan oleh para wali melakukan islamisasi melalui bahasa.

Penulisan sejarah Wali Songo kerap menemui banyak perdebatan. Dimulai dari istilah ‘Wali Songo’ sendiri, yang ada banyak perdebatan asal kata tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Terlepas berasal dari kata sanga, sana, atau pun sangha, ada point yang dapat diambil yaitu islamisasi yang mereka lakukan. Mereka mengadopsi istilah-istilah Hindu-Budha, namun maknanya disesuaikan dengan pandangan Islam. Misalnya kata ‘pesantren’ yang kebanyakan orang mengenalnya sebagai sistem pendidikan milik Islam. Pada mulanya pesantren berasal dari Hindu-Budha (sansekerta), namun maknanya dirubah dan disesuaikan dengan konsep lembaga pendidikan kita. Begitu pentingnya bahasa, karena didalamnya terkandung makna yang menghasilkan pemahaman. Ketika suatu bahasa diubah maknanya, maka pemahaman tentang suatu kata pun akan berubah. Dengan bahasa kita memahami agama, dan ketika bahasa tersebut rusak maka rusaklah agama.

Kemudian para wali pun kerap melakukan islamisasi dalam kebudayaan. Dapat dilihat dalam kebudayaan atau tradisi mereka sebelum datangnya Islam. Misalnya masyarakat kerap melakukan kanibalisme yang bertujuan untuk mengambil alih ‘energi kehidupan’ dari musuh yang terbunuh, atau pun dengan bhairawatantra, yang mendasar pada ma lima (matsya, mansa, madya, maithuna). Maka para wali berinisiatif mengganti, misalnya dengan tradisi apeman atau lain sebagainya, yang hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Jawa umumnya. 

b.      b) Gerak Dakwah

Hubungan Arab-Jawa sudah terjalin sejak lama. Pada tahun 600M, pengaruh Arab sudah terasa di Sumatera. Motif keagamaan menjadikan perdagangan sebagai jalan perintis bagi penyebaran Islam. Perdagangan dan dakwah berjalan beriringan, misalnya seperti Malaka yang diambil bukan ekonomi namun sebagai pos dakwah.

WaliSongo bukanlah pihak pertama yang melakukan dakwah, namun mereka melanjutkan apa yang telah dirintis oleh para pendahulu mereka. Mereka diingat oleh masyarakat dikarenakan dakwah mereka lebih sukses dan merupakan puncak dari keberhasilan dakwah. Kesuksesan berasal dari proses yang panjang dan memanfaatkan peluang dan potensi mereka. Pada mulanya mereka berperan sebagai pedangang kemudian penerimaan Islam oleh masyarakat. Proses yang lama karena melalui jalur damai, dakwah pun didorong oleh kekuatan politik dan kaum bangsawan. Ada pun cara yang ditempuh melalui jalur pendidikan, kebudayaan, politik dan lainnya.

Pertama, melalui jalur pendidikan dengan membangun jaringan pesantren. Menurut Denys Lombard; “Sebagai sebuah lembaga yang mandiri dari sudut ekonomi dan hukum, pesantren-pesantren akhirnya membentuk jaringan luas dari ujung pulau bahkan hingga ke Timur Tengah.”

Pesantren dikatakan bahwa ia mencontoh lembaga pendidikan Hindu-Budha. Bahkan pesantren merupakan salah satu bentuk dari islamisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari kata ‘santri’ yang menurut C.C Berg berasal dari shastri, bahasa India yang masih satu akar kata dengan shastra yang berarti kitab suci, agama, buku pengetahuan.

Denys Lombard juga mengatakan dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya; “Salah satu yang berperan besar dalam Islamisasi dan membentuk kekuatan kaum Muslim di Nusantara ialah pondok pesantren. Sebagai lembaga mandiri dari sudut ekonomi dan hukum, pesantren-pesantren akhirnya membentuk sebuah jaringan luas yang terentang dari ujung pulau yang satu ke ujung lainnya, bahkan sampai di luar pulau, sampai melintasi seluruh Nusantara dan mencapai Timur Tengah. Pesantren juga berfungsi sebagai lahan subur untuk membina suatu elite sosial baru, yaitu kyai, syekh atau ulama, yang mengandalkan kharisma maupun pengetahuan mereka.”

Perancang pesantren pertama di Jawa oleh Maulana Malik Ibrahim, yang merupakan utusan dari Pasai, sebagai perwakilan Guru Besar Pasai ke Gresik. Konsep ini kemudian diikuti oleh para wali yang lainnya. Pesantren tidak sekedar mempelajari agama namun melatih intelektual dan jiwa para santri. Ada pun fungsinya tidak sekedar lembaga intelektual saja, namun sebagai pos dakwah dan lembaga sosial tersendiri.  

Di bawah kepemimpinan Wali Songo, pesantren di pesisir berkembang menjadi pusat keislaman, pembelajaran serta menjadi basis sosial politik masyarakat muslim Jawa kala itu. Diantara pesantren di pesisir adalah Giri. Ia menjadi pusat dari kebudayaa Islam pesisir dan menjalankan ekspansi ekonomi ke berbagai wilayah Indonesia. Tempatnya yang strategis membuat banyak pedagang memjadi muslim, yang kemudian Islam pun semakin tersebar luas. Hal itu disebabkan para pedagang muslim mealanjutkan esatafet dakwah. Giri berperan banyak dalam penyebaran Islam, dengan menempuh berbagai jalur dakwah, dan hal tersebut tidak dapat dilepas dari peran para walinya.

Kedua, melalui jalur politik. Para wali tersebut tidak hanya memainkan peran dalam bidang pendidikan saja, namun politik. Dapat dilihat salah satunya dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel, melalui jalur pernikahan dengan putri-putri penguasa Majapahit sebagai salah satu metodenya. Terjalinnya hubungn baik dengan raja, ia pun meminta izin untuk menyebarkan Islam di wilayah sekitar kerajaan. Raja pun mengizinkan bahkwan mendukungnya asal tidak ada paksaan dalam dakwahnya. Sunan Ampel pun diberikan tanah pradikan di Ampel, yang kemudian berdirilah masjid untuk ibadah sekaligus tempat pengajaran. Masjid tersebut berkembang dan menjadi awal mula adanya pesantren di Jawa.

Tujuan Dakwah

Para Wali walau tidak semuanya sehidup sezaman, namun mereka memiliki kesatuan tujuan dasar perjuangan. Mereka juga sama dalam ideology dan sealiran, yaitu tasawuf dan Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, serta maksud tujuan akan dakwah pun sama. Terlihat dari samanya pendapat dan kesamaan dalam berdakwah, walau bidang dakwah mereka berbeda-beda tidak jadi suatu penghalang. Strategi yang dilakukan Wali Songo adalah mengajak manusia ke jalan Allah dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki. Ada pun tujuannya;

Pertama, mereka bertujuan menanamkan akidah yang mantap di setiap hati seseorang. Sehingga keyakinan ajaran Islam tidak tercampur dengan rasa keraguan. Misalnya seperti upaya Wali Songo dalam rangka menanamkan akidah kepada masyarakat Jawa dengan memunculkan kisah-kisah para sunan yang sakti sebagaimana mitologi Hindu dulu. Dengan begitu akan menarik perhatian masyarakat.

Kedua, bertujuan menegakan hukum. Dakwah harus mengikuti hukum syariat Allah yang ditegakan oleh Rasulullah saw. Salah satu upaya para wali dalam menyebarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima.

Ketiga, adalah dengan menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Jawa. Sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat tercela. Para Wali dalam menanamkan dakwah Islam di tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijak.

Ajaran Wali Songo

Diantara narasi mengatakan bahwa Wali Songo menganut syiah, dan terlibat pertentangan dengan Sunni (Sunan Ampel, Giri, dan Drajat). Untuk melerai maka Sunan Bonang mengambil jalan tengah. Namun apakah benar bahwa para wali tersebut ada yang menganut syiah dan terlibat konflik? Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya Sunan Bonang yang merepresentasikan ajaran Wali Songo lainnya.

Karena itu ajaran para wali terlihat jelas dalam kitab Bonang. Adapun latar belakang penulisan kitab tersebut, pertama transisi poitik dari Majapahit ke Demak, kedua revolusi dakwah Islam di Jawa, ketiga pengaruh Bhairawatantra di masyarakat, keempat ada beberapa dai yang membawa ajaran menyimpang dari negrinya.

Kemudian isi dari kitab Bonang tentang ajaran yang benar dan ajaran sesat yang mesti dijauhi, dan berbentuk dialog antara Syeikh Bari dan Rijalullah. Serta merekam ajaran wirasaning ushul suluk, yang berisi akidah dan akhlak. Serta merepresentasikan ajaran Wali Songo, terkait akidah, tasawuf dan lainnya, serta menunjukan adanya keterpengaruhan dengan ajaran Imam al-Ghazali dan beberapa ulama.

Kesimpulan

Sebelum munculnya Wali Songo, sudah ada dai-dai lainnya yang datang dan menyebarkan Islam di Nusantara ini. Namun nama mereka yang kerap disebutkan sebab mereka memiliki peran dan jasa yang banyak. Diantaranya mereka sukses dalam berdakwah, sehingga dijadikan model atau teladan dalam berdakwah ditengah masyarakat. Dakwah Wali Songo hendaknya dipandang sebagai sebuah proses. Dalam tahapan dakwah kala itu berhasil. Adapun alasan mengapa bisa berhasil, disebabkan kebersamaan, kepatuhan terhadap bimbingan ulama, keteladanan yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah, kemampuan, perencanaan yang akurat, pengorganisasian yang matang, dan tidak menafikan keberadaan Allah Swt.

Proses dakwah yang berhasil bukan berarti berhenti begitu saja, namun seperti halnya tobgkat estafet masih terus berjalan hingga kini. Menggaung di zamannya dan melampaui masanya, namun butuh sentuhan berkesinambungan dari generasi berikutnya. Sesungguhnya sentuhan berkesinambungan yang dimaksud adalah tindakan pada setiap generasi untuk membangun tradisi dakwah. Hakikatnya dakwah adalah proses estafeta dan alih generasi dari masa ke masa.

Keberhasilan taktik dan dakwah Walisongo disebabkan karena beberapa hal diantaranya; pertama, dakwah mereka dengan konsep yang pas. Kedua, dakwah yang mereka lakukan dengan penuh keuletan, keikhlasan, kesediaan berkorban. Ketiga, kegiatan dakwah mereka didasarkan pada perhitungan yang riil dan rasional. Keempat, kegiatan dakwah mereka memperhatikan masyarakat yang dihadapi. Dan kelima, dakwah mereka dengan cara bijaksana tidak menyinggung perasaan. Keenam, para Wali menggunakan kecakapan dan kepandaian yang ada pada mereka.

 

 

 

Komentar