Urgensi Kalam dan Relevansinya dengan Tantangan Liberal

 Oleh: Shofiyah Hafizhah I.

Ilmu Kalam merupakan ilmu yang perlu kita pelajari di era sekarang ini. Karena beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan membenarkan ajarannya merupakan pondasi paling dasar dalam struktur berislam. Akidah dalam Islam pun bukan sekedar iman dan yakin tetapi juga ilmu, karena itu kita butuh pemahaman yang memadai. (Shalahuddin, 2019) Kini kita berhadapan dengan perang pemikiran dan kita memerlukan ini untuk mempertahankan akidah kita. Dengan ilmu Kalam dapat memberikan kita kemampuan untuk mengefermasi (menegaskan) kaidah-kaidah keagamaan dengan hujjah dan menolak syubhat atau pun bid’ah yang terdapat dari luar atau pun dalam tubuh umat. Sebagaimana perkataan al-Farabi terkait ilmu kalam ini;

“Kemampuan yang dimiliki seorang manusia untuk membantu pendapat atau perbuatan terpuji yang telah dijelaskan oleh pembuat agama ini.”

Kemunculan ilmu Kalam dikarenakan bebagai faktor internal dan eksternal dan terus berkembang hingga sekarang. Dengan ilmu ini, membantu kita karena kini banyaknya hal-hal yang membuat kita ragu. Tantangan terhadap akidah umat Islam sudah ada sejak dahulu, dan oleh sebab itulah para ulama melawan pemikiran yang menyimpang dengan melahirkan ilmu Kalam.

Ada pun tantangan tersebut terus berkembang hingga saat ini, bahkan merasuki pemikiran kaum muslimin dengan sangat halus. Karena tantangan pemikiran sekarang melebihi tantangan yang dihadapi oleh kaum muslimin dahulu. Jika dahulu kaum Muktazilah mengatakan bahwa Quran adalah makhluk, maka sekarang orang liberal mengatakan bahwa Quran adalah kalam Muhammad, bahkan meragukan akan al-Quran itu sendiri. Maka tujuan dari penulisan makalah ini untuk menjelaskan relevansi ilmu Kalam dan bagaimana mengahadapi tantangan kontenporer terkait akidah ini. 

Urgensi Ilmu Kalam

Ilmu Kalam saat ini sangatlah dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menghadapi tantangan pemikiran. Tujuan mempelajari ilmu Kalam untuk meneguhkan keimanan, disertai oleh dalil, serta menolak hal-hal yang bid’ah dan syubhat. Sebagaimana Al-Tafzani katakan, “Kalam adalah ilmu tentang kaidah-kaidah agama dengan disertai dalil”. Dalam buku Mawaqif, Henry Shalahuddin mengatakan,

“Maka disinilah peran ilmu Kalam sebagai upaya untuk menempatkan solusi atau penolakan terhadap masalah teologis yang diajukan, dan menjadi salah unsur utama bagi perkembangan pemikiran Islam.” (Shalahuddin, 2019)

Dalam sejarahnya, ilmu Kalam sudah memberikan kontribusi dalam khazanah pemikiran Islam, beberapa diantaranya adalah mempertahankan akidah, memberikan pondasi rasional bagi keimanan, mencegah dari berlaku taqlid dalam beragama dan mengembangkan deratisme beragama.

Tujuan dari mempelajari ilmu Kalam untuk mempertahankan akidah kita. Sebagaimana Al-Tafzani katakan; “Kalam adalah ilmu tentang kaidah-kaidah agama dengan disertai dalil”. Ia menyakini kebenaran dan dilengkapi dengan dalil-dalil, yang bertujuan untuk menguatkannya. Berbeda dengan filsafat yang berawal dari pencarian bukan keyakinan. Karena itu ilmu Kalam tidak dapat disamakan dengan filsafat, sebab pada permulaannya saja sudah berbeda.

Maka dari itu salah jika ada yang mengatakan bahwa Kalam sama dengan filsafat, seperti yang dikatakan oleh Peter F. E; “No Philosophy in Islam, and Kalam is the stepsister (of falsafah) borne by the same mother.” Padahal Kalam lahir dari khazanah Islam, dan untuk menjawab merespon pandangan-pandangan fisuf Yunani. Para filsuf pun selalu menggunakan akal dan membuang agama, sehingga banyaknya pertentangan dengan Quran dan hadist, sebab itulah ulama pun menjawab tantangan tersebut dengan ilmu ini. Imam al-Ghazali menuliskan dalam kitabnya, al-Munqidh min al-Dhalal terkait dengan para filsuf yang kerap menggunakan akalnya saja;

“Fa man zanna anna al-kashfa mauqufun ‘ala al-asillah al-muharrarah fa qad dayyaqa rahmatullah ta’ala al-wasi’ah”

“Barangsiapa yang mengira bahwa keyakinan tentang kebenaran (al-kashf) hanya dicapai melalui penalaran dan argumentasi, maka sungguh dia telah menyempitkan luasnya rahmat Allah.” (Shalahuddin, 2019)

Para ulama menjawab tantangan tersebut tidak dengan ayat Quran dan hadis saja, tetapi dengan memberikan argument rasional atas keimanan. Salah satu karakternya adalah kemampuan membangun rasionalistas dari ajaran Islam berdasarkan Quran dan sunnah. Ia bertujuan untuk merespon syubhat yang muncul, baik dari dalam atau luar umat. Serangan pemikiran bisa berasal dari luar Islam, seperti pemikiran para filsuf, orientalis dan lainnya, begitu pun dengan syubhat yang datang dari tubuh umat ini perlu ditolak dengan hujjah yang kuat. Henry Shalahuddin pun menjelaskan dalam bukunya;

“Oleh sebab itu dalam Islam kita diajarkan untuk mengintegrasikan akal dan wahyu. Sebab bersandar pada penalaran dan argumentasi spekulatif semata dalam mencari kebenaran, tanpa mengindahkan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadist, akan mengakibatkan fanatisme pada kebenaran ralatif yang diperolehnya, senang berdebat dan memandang golongan lain dengan pandangan kebencian.” (Shalahuddin, 2019)

Lalu juga mencegah dari berlaku taqlid dalam beragama. Allah menyerukan manusia untuk menggunakan akal dan panca indra untuk berpikir dan mengecam orang yang tidak mau menggunakan keduanya, sebagaimana yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah. Karena iman dalam Islam tidak boleh berdasarkan taqlid buta tetapi harus dibangun atas bukti dan argumentasi. Iman merupakan kebenaran mutlak dan dapat diketahui dengan pengetahuan. Kebenaran yang ditunjukan kepada otak kita bukanlah suatu yang misterius atu tidak dapat dilogikakan, tapi suatu yang dapat diketahui oleh rasio. Sebagaimana firman-Nya, “fa’lam annahu laa ilaha illallah”, Allah berfirman ‘Ketahuilah!’ bukan ‘Imanilah’. Maka ini menunjukan bahwa Allah tidak memerintahkan kita untuk sekedar mengimani saja, tetapi mengetahui dengan ilmu disertai pemahaman.


Kemudian ilmu Kalam mengembangkan deratisme (tengah-tengah) beragama. Kalam ‘Asyari berusaha mengembangkan pemikiran dan sikap moderat. Seperti penggunaan akal dan naql, perbuatan manusia antara terpaksa dan bebas. Dalam Kalam Asyariyah mereka menggunakan akal dan naql, berbeda dengan Muktazilah yang lebih banyak menggunakan akal dibanding naql. Keduanya seimbang, akal rasional digunakan untuk memperkuat hujjah akan Quran dan sunnah, karena orang-orang yang tidak mempercayai Quran akan menertawakan dan hanya mengira kita tidak mempunyai hujjah rasio yang kuat.

Ilmu Kalam dan Islam Liberal                                     

Ilmu Kalam identik membahas hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan umat Islam sudah mendapatkan serangan sejak dahulu, namun serangan tersebut tidaklah berhenti bahkan ia terus berkembang merasuki pemikiran kaum muslimin. Ada pun tantangan yang kini dihadapi lebih berat, karena pandangan-pandangan yang menyimpang kini berasal dari kaum Muslim sendiri.

Jika dahulu muncul berbagai sekte seperti Murjiah, Khawarij, Muktazilah, maka kini muncul aliran sesat seperti liberal, sekuler, ateis. Mereka tidak lagi mengatakan bahwa Quran adalah makhluk, tetapi mereka tidak menyakini Quran itu kalamullah, bahkan menyamakan Quran dengan buku lainnya. Ada pun beberapa pandangan mereka terkait dengan akidah akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.

a.      Islam Liberal dan al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan Kitab suci yang diturunkan Allah kepada Muhammad, dan kita sudah semestinya mengimaninya. Namun Quran pun kerap menjadi objek kajian oleh para orientalis dan lainnya, untuk menyanggah akan kemurniannya. Jika kaum Muktazilah dahulu menyakini bahwa Quran adalah makhluk dikarenakan kekahwatirannya akan ideologi tashbih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) yang membahayakan tauhid, namun mereka terjebak dengan bentuk keekstriman yang lain. (Shalahuddin, 2019) Muktazilah menyatakan akan kahlq quran, tetapi mereka tidak pernah sampai mengklaim posisi wahyu berubah sebagaimana trend pemikiran liberal. (Shalahuddin, 2019) Maka kaum liberal dan orientalis lebih cenderung kepada anti-Quran, tidak mengakui Quran sebagai kalamullah dikarenakan beranggapan bahwa tidak memiliki bukti secara fisik yang menunjukan bahwa Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, atau pun yang membuktikan kemurniaannya.

Telah disebutkan sebelumnya tokoh liberal yang populer akan pemikiran mereka yang kerap mempertentangkan keyakinan umat Islam. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang merupakan tokoh liberal dari Mesir, yang diusir dari Mesir di karenakan pemikirannya dan pergi ke Belanda untuk mempelajari Islam. Ia berpandangan bahwa Quran merupakan produk budaya, buatan manusia. Ia pun juga berpandangan bahwa Quran merupakan siasat politik Qurays, yang dilakukan oleh Utsman bin Affan. Tak hanya Nasr Hamid Abu Zayd saja, Mohammed Arkoun pun menghujat Imam Syafi’i dengan mengatakan bahwa Quran baru mendapatkan label sakral sejak Imam Syafi’i melakukan interposisinya. (Shalahuddin, 2019)

Padahal Quran bukanlah produk budaya yang mengikuti perkembangan zaman, karena Quran itu adalah khabar mutawatir dan walau ia tidak ada perubahan akan isinya tetapi Quran selalu relevan untuk digunakan sepanjang zaman. Berbeda dengan Bible yang hampir tiap tahunnya mengalami perubahan akan isinya. Kemudian Quran bukanlah siasat politik Qurays sebagaimana yang dituduhkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Karena jika melihat kembali kepada sejarahnya, Utsman bin Affan bukan mempertahankan ideologi politik tetapi Utsman berusaha menyatukan perbedaan qiraat serta menyebabkan terjadinya perselisihan yang saat itu terjadi.

Seorang dosen bernama Dr. Aksin Wijaya pun mengatakan bahwa mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profandan fleksibel. Karena menurutnya yang sacral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya. Hal tersebut pun masih dalam proses pencarian Quran. Ia pun menempatkan al-Qur’an setara dengan teks-teks lainnya. Ia juga membedakan antara wahyu, Quran, dan mushaf Utsmani. Baginya wahyu adalah kalamullah yang berbentuk 100%. Kemudian ketika diturunkan kepada Nabi Muhammad, kalam yang mereka anggap suci itu berubah keaslian teksnya menjadi 50%. Ketika sudah menjadi sebuah mushaf maka bagi mereka keasliannya hanya tersisa 30%. Maka dengan begitu secara tidak langusng ia meragukan kejujuran sang Nabi.

Selain itu juga Quran kerap dikatakan hasil suntingan dari kitab-kitab sebelumnya dan disesuaikan oleh kepentingannya. Muhammad Guntur Romli, seorang aktifis liberal menuliskan dalam salah satu Koran Tempo dengan judul ‘Pewahyuan al-Quran antara Budaya dan Sejarah’, yaitu;

“Al-Qur’an adalah suntingan dari kitab-kitab sebelumnya yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya. Al-Qur’an tidak dapat melintasi konteks dan sejarah. Karena ia adalah wahyu dan budaya.”

Dia menganggap Nabi Muhammad belajar kepada para pendeta Nashrani sehingga dapat membuat al-Qur’an. Padahal tidak ada satu pun riwayat sejarah baik umum atau pun Islam yang mengatakan hal tersebut. Karena interaksi Rasulullah dengan Waraqah atau pun pendeta Buhaira sangatlah singkat. Mengutip dari Bana Fatahillah;

“Kita katakan bahwa tidak ada satu riwayat sejarah pun, baik sejarah Islam ataupun umum yang mengatakan bahwa pendeta itu mengajarkan sesuatu pada Muhammad saw. Sebab pertemuan itu hanyalah singkat dan rahib itu justru mengabarkan tanda-tanda kenabian pada paman Nabi. Adapun Waraqah, andai ia benar mengajari Muhammad al-Quran, maka itu sangatlah mustahil. Sebab Waraqah wafat setahun setelah Nabi diangkat, sedangkan al-Quran turun selama 23 tahun setelah itu.” (Fatahillah, 2021)

Kesimpulan

Melihat begitu banyaknya tantangan yang kita hadapi saat ini, ilmu Kalam perlu kita pelajari, karena melihat dari fungsi Kalam untuk mempertahankan akidah. Kedudukan ilmu Kalam pada hakikatnya untuk menguatkan kualitas keimanan berasaskan argument rasional. (Shalahuddin, 2019) Karena bagi mereka jika sesuatu yang tidak nyata atau tidak dapat dirasionalkan maka mereka akan menertawakan dan disingkirkan, padahal agama merupakan suatu hal yang penting dalam membentuk cara pikir, pandangan dan kemudian itu akan tercemin pada perilakunya dalam kesehariannya.

“Agama adalah salah satu faktor terpenting dalam membentuk kepribadian, pemikiran dan perilaku seseorang dalam kehidupan kesehariannya. Manusia beragama berarti mengikuti dan meyakini suatu pola pemikiran atau ajaran, dan kemudian berjalan menjalani hidupnya berpadukan petunjuk tersebut.” (Shalahuddin, 2019)

Maka pentingnya ilmu ini untuk dipelajari untuk menjaga kita dari perang pemikiran yang kini tengah terjadi. Tantangan terhadap akidah ahlusunnah wa al-jamaah memang semejak dahulu sudah terjadi. Namun tantangan tersebut kini terus berkembang seiring berjalannya waktu, dan bahkan kini menggrogoti tubuh umat Islam. Sebagaimana penjelasan Henry Shalahuddin dalam bukunya Mawaqif; 

“Maraknya penyebaran kebatilan pemikiran dalam agama hanya bisa ditanggulangi dengan menghidupkan kembali budaya ilmu, khususnya tradisi Maqalat Islamiyyin yang dicanangkan Abu Hasan al-Ashari. Parasite yang menjalar dari aliran-aliran sesat kedalam akidah Islam ditaklukan dengan argumen ilmiah berpadukan wahyu dan akal budi dan tersistem dalam disiplin Kalam.” (Shalahuddin, 2019)

                 Disinilah peran ilmu Kalam yang mengkaji akidah dan menolak kerancuan yang ada dengan argument akal yang menjadi metode aswaja dalam beragumen. Aswaja menggabungkan antara wahyu dan akal, karena Allah sendiri pun memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmu. Jika iman tanpa disertai dengan ilmu, maka tidak akan menambahkan keimanannya. Buya Hamka pun berkata;

“Ilmu tanpa iman seperti lentera di tangan penjahat, dan iman tanpa ilmu seperti lentera di tangan anak kecil.”

                 Maka itu pentingnya mengetahui iman dengan disertai dengan ilmu. Jika tidak bisa saja menyebabkan taqlid butad dalam beragama. Apalagi di zaman sekarang ini banyak yang menganggap bahwa ilmu Kalam dan pemikiran Islam tidak penting, padahal disebabkan kurangnya ilmu dan pengetahuan akan agama dan keimanan menjadikan mereka mudah mengkafirkan sesame muslim.

                 Karena itu ilmu Kalam pun masih relevansi untuk sekarang, melihat ilmu ini masih dibutuhkan, melihat dari fungsi Kalam adalah untuk mempertahankan akidah.

 

Komentar