Oleh: Shofiyah Hafizhah I.
Ilmu Kalam merupakan ilmu yang perlu kita pelajari
di era sekarang ini. Karena beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan membenarkan
ajarannya merupakan pondasi paling dasar dalam struktur berislam. Akidah dalam
Islam pun bukan sekedar iman dan yakin tetapi juga ilmu, karena itu kita butuh
pemahaman yang memadai.
“Kemampuan yang
dimiliki seorang manusia untuk membantu pendapat atau perbuatan terpuji yang
telah dijelaskan oleh pembuat agama ini.”
Kemunculan ilmu Kalam dikarenakan bebagai faktor
internal dan eksternal dan terus berkembang hingga sekarang. Dengan ilmu ini,
membantu kita karena kini banyaknya hal-hal yang membuat kita ragu. Tantangan
terhadap akidah umat Islam sudah ada sejak dahulu, dan oleh sebab itulah para
ulama melawan pemikiran yang menyimpang dengan melahirkan ilmu Kalam.
Ada pun tantangan tersebut terus berkembang hingga
saat ini, bahkan merasuki pemikiran kaum muslimin dengan sangat halus. Karena
tantangan pemikiran sekarang melebihi tantangan yang dihadapi oleh kaum
muslimin dahulu. Jika dahulu kaum Muktazilah mengatakan bahwa Quran adalah
makhluk, maka sekarang orang liberal mengatakan bahwa Quran adalah kalam
Muhammad, bahkan meragukan akan al-Quran itu sendiri. Maka tujuan dari
penulisan makalah ini untuk menjelaskan relevansi ilmu Kalam dan bagaimana
mengahadapi tantangan kontenporer terkait akidah ini.
Urgensi Ilmu Kalam
“Maka disinilah peran ilmu Kalam sebagai upaya untuk
menempatkan solusi atau penolakan terhadap masalah teologis yang diajukan, dan
menjadi salah unsur utama bagi perkembangan pemikiran Islam.”
Dalam sejarahnya, ilmu Kalam sudah memberikan
kontribusi dalam khazanah pemikiran Islam, beberapa diantaranya adalah
mempertahankan akidah, memberikan pondasi rasional bagi keimanan, mencegah dari
berlaku taqlid dalam beragama dan mengembangkan deratisme beragama.
Tujuan dari mempelajari ilmu Kalam untuk
mempertahankan akidah kita. Sebagaimana Al-Tafzani katakan; “Kalam adalah ilmu tentang kaidah-kaidah
agama dengan disertai dalil”. Ia menyakini kebenaran dan dilengkapi dengan
dalil-dalil, yang bertujuan untuk menguatkannya. Berbeda dengan filsafat yang
berawal dari pencarian bukan keyakinan. Karena itu ilmu Kalam tidak dapat
disamakan dengan filsafat, sebab pada permulaannya saja sudah berbeda.
Maka dari itu salah jika ada yang mengatakan bahwa
Kalam sama dengan filsafat, seperti yang dikatakan oleh Peter F. E; “No Philosophy in Islam, and Kalam is the
stepsister (of falsafah) borne by the same mother.” Padahal Kalam lahir
dari khazanah Islam, dan untuk menjawab merespon pandangan-pandangan fisuf
Yunani. Para filsuf pun selalu menggunakan akal dan membuang agama, sehingga
banyaknya pertentangan dengan Quran dan hadist, sebab itulah ulama pun menjawab
tantangan tersebut dengan ilmu ini. Imam al-Ghazali menuliskan dalam kitabnya, al-Munqidh min al-Dhalal terkait dengan
para filsuf yang kerap menggunakan akalnya saja;
“Fa man zanna
anna al-kashfa mauqufun ‘ala al-asillah al-muharrarah fa qad dayyaqa rahmatullah
ta’ala al-wasi’ah”
“Barangsiapa yang mengira bahwa keyakinan tentang
kebenaran (al-kashf) hanya dicapai melalui penalaran dan argumentasi, maka
sungguh dia telah menyempitkan luasnya rahmat Allah.”
Para ulama menjawab tantangan tersebut tidak dengan
ayat Quran dan hadis saja, tetapi dengan memberikan argument rasional atas
keimanan. Salah satu karakternya adalah kemampuan membangun rasionalistas dari
ajaran Islam berdasarkan Quran dan sunnah. Ia bertujuan untuk merespon syubhat
yang muncul, baik dari dalam atau luar umat. Serangan pemikiran bisa berasal
dari luar Islam, seperti pemikiran para filsuf, orientalis dan lainnya, begitu
pun dengan syubhat yang datang dari tubuh umat ini perlu ditolak dengan hujjah
yang kuat. Henry Shalahuddin pun menjelaskan dalam bukunya;
“Oleh sebab itu dalam Islam kita diajarkan untuk
mengintegrasikan akal dan wahyu. Sebab bersandar pada penalaran dan argumentasi
spekulatif semata dalam mencari kebenaran, tanpa mengindahkan dalil-dalil
al-Qur’an dan Hadist, akan mengakibatkan fanatisme pada kebenaran ralatif yang
diperolehnya, senang berdebat dan memandang golongan lain dengan pandangan
kebencian.”
Lalu juga mencegah dari berlaku taqlid dalam
beragama. Allah menyerukan manusia untuk menggunakan akal dan panca indra untuk
berpikir dan mengecam orang yang tidak mau menggunakan keduanya, sebagaimana
yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah. Karena iman dalam Islam tidak boleh berdasarkan
taqlid buta tetapi harus dibangun atas bukti dan argumentasi. Iman merupakan
kebenaran mutlak dan dapat diketahui dengan pengetahuan. Kebenaran yang
ditunjukan kepada otak kita bukanlah suatu yang misterius atu tidak dapat
dilogikakan, tapi suatu yang dapat diketahui oleh rasio. Sebagaimana
firman-Nya, “fa’lam annahu laa ilaha
illallah”, Allah berfirman ‘Ketahuilah!’ bukan ‘Imanilah’. Maka ini
menunjukan bahwa Allah tidak memerintahkan kita untuk sekedar mengimani saja,
tetapi mengetahui dengan ilmu disertai pemahaman.
Kemudian ilmu Kalam mengembangkan deratisme (tengah-tengah) beragama. Kalam ‘Asyari berusaha mengembangkan pemikiran dan sikap moderat. Seperti penggunaan akal dan naql, perbuatan manusia antara terpaksa dan bebas. Dalam Kalam Asyariyah mereka menggunakan akal dan naql, berbeda dengan Muktazilah yang lebih banyak menggunakan akal dibanding naql. Keduanya seimbang, akal rasional digunakan untuk memperkuat hujjah akan Quran dan sunnah, karena orang-orang yang tidak mempercayai Quran akan menertawakan dan hanya mengira kita tidak mempunyai hujjah rasio yang kuat.
Ilmu Kalam dan
Islam Liberal
Ilmu Kalam identik membahas hal-hal yang
berkaitan dengan keyakinan umat Islam sudah mendapatkan serangan sejak dahulu,
namun serangan tersebut tidaklah berhenti bahkan ia terus berkembang merasuki
pemikiran kaum muslimin. Ada pun tantangan yang kini dihadapi lebih berat,
karena pandangan-pandangan yang menyimpang kini berasal dari kaum Muslim
sendiri.
Jika dahulu muncul berbagai sekte
seperti Murjiah, Khawarij, Muktazilah, maka kini muncul aliran sesat seperti
liberal, sekuler, ateis. Mereka tidak lagi mengatakan bahwa Quran adalah
makhluk, tetapi mereka tidak menyakini Quran itu kalamullah, bahkan menyamakan Quran dengan buku lainnya. Ada pun
beberapa pandangan mereka terkait dengan akidah akan dijelaskan lebih lanjut
dibawah ini.
a.
Islam Liberal dan al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan
Kitab suci yang diturunkan Allah kepada Muhammad, dan kita sudah semestinya
mengimaninya. Namun Quran pun kerap menjadi objek kajian oleh para orientalis
dan lainnya, untuk menyanggah akan kemurniannya. Jika kaum Muktazilah dahulu
menyakini bahwa Quran adalah makhluk dikarenakan kekahwatirannya akan ideologi tashbih (penyerupaan Tuhan dengan
makhluk) yang membahayakan tauhid, namun mereka terjebak dengan bentuk
keekstriman yang lain.
Telah disebutkan
sebelumnya tokoh liberal yang populer akan pemikiran mereka yang kerap
mempertentangkan keyakinan umat Islam. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd
yang merupakan tokoh liberal dari Mesir, yang diusir dari Mesir di karenakan
pemikirannya dan pergi ke Belanda untuk mempelajari Islam. Ia berpandangan
bahwa Quran merupakan produk budaya, buatan manusia. Ia pun juga berpandangan
bahwa Quran merupakan siasat politik Qurays, yang dilakukan oleh Utsman bin
Affan. Tak hanya Nasr Hamid Abu Zayd saja, Mohammed Arkoun pun menghujat Imam
Syafi’i dengan mengatakan bahwa Quran baru mendapatkan label sakral sejak Imam
Syafi’i melakukan interposisinya.
Padahal Quran bukanlah produk
budaya yang mengikuti perkembangan zaman, karena Quran itu adalah khabar mutawatir dan walau ia tidak ada
perubahan akan isinya tetapi Quran selalu relevan untuk digunakan sepanjang
zaman. Berbeda dengan Bible yang hampir tiap tahunnya mengalami perubahan akan
isinya. Kemudian Quran bukanlah siasat politik Qurays sebagaimana yang
dituduhkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Karena jika melihat kembali kepada
sejarahnya, Utsman bin Affan bukan mempertahankan ideologi politik tetapi
Utsman berusaha menyatukan perbedaan qiraat serta menyebabkan terjadinya
perselisihan yang saat itu terjadi.
Seorang dosen bernama Dr.
Aksin Wijaya pun mengatakan bahwa mushaf itu tidak sakral dan absolut,
melainkan profandan fleksibel. Karena menurutnya yang sacral dan absolut
hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya. Hal tersebut pun masih dalam proses
pencarian Quran. Ia pun menempatkan al-Qur’an setara dengan teks-teks lainnya.
Ia juga membedakan antara wahyu, Quran, dan mushaf Utsmani. Baginya wahyu
adalah kalamullah yang berbentuk
100%. Kemudian ketika diturunkan kepada Nabi Muhammad, kalam yang mereka anggap
suci itu berubah keaslian teksnya menjadi 50%. Ketika sudah menjadi sebuah
mushaf maka bagi mereka keasliannya hanya tersisa 30%. Maka dengan begitu
secara tidak langusng ia meragukan kejujuran sang Nabi.
Selain itu juga Quran
kerap dikatakan hasil suntingan dari kitab-kitab sebelumnya dan disesuaikan
oleh kepentingannya. Muhammad Guntur Romli, seorang aktifis liberal menuliskan
dalam salah satu Koran Tempo dengan judul ‘Pewahyuan al-Quran antara Budaya dan
Sejarah’, yaitu;
“Al-Qur’an adalah suntingan dari
kitab-kitab sebelumnya yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya.
Al-Qur’an tidak dapat melintasi konteks dan sejarah. Karena ia adalah wahyu dan
budaya.”
Dia
menganggap Nabi Muhammad belajar kepada para pendeta Nashrani sehingga dapat
membuat al-Qur’an. Padahal tidak ada satu pun riwayat sejarah baik umum atau
pun Islam yang mengatakan hal tersebut. Karena interaksi Rasulullah dengan
Waraqah atau pun pendeta Buhaira sangatlah singkat. Mengutip dari Bana
Fatahillah;
“Kita katakan bahwa tidak ada satu
riwayat sejarah pun, baik sejarah Islam ataupun umum yang mengatakan bahwa
pendeta itu mengajarkan sesuatu pada Muhammad saw. Sebab pertemuan itu hanyalah
singkat dan rahib itu justru mengabarkan tanda-tanda kenabian pada paman Nabi. Adapun Waraqah, andai ia
benar mengajari Muhammad al-Quran, maka itu sangatlah mustahil. Sebab Waraqah
wafat setahun setelah Nabi diangkat, sedangkan al-Quran turun selama 23 tahun
setelah itu.”
Kesimpulan
Melihat begitu banyaknya tantangan yang kita hadapi
saat ini, ilmu Kalam perlu kita pelajari, karena melihat dari fungsi Kalam
untuk mempertahankan akidah. Kedudukan ilmu Kalam pada hakikatnya untuk
menguatkan kualitas keimanan berasaskan argument rasional.
“Agama adalah salah satu faktor terpenting dalam
membentuk kepribadian, pemikiran dan perilaku seseorang dalam kehidupan
kesehariannya. Manusia beragama berarti mengikuti dan meyakini suatu pola
pemikiran atau ajaran, dan kemudian berjalan menjalani hidupnya berpadukan
petunjuk tersebut.”
Maka pentingnya ilmu ini untuk dipelajari untuk
menjaga kita dari perang pemikiran yang kini tengah terjadi. Tantangan terhadap
akidah ahlusunnah wa al-jamaah memang semejak dahulu sudah terjadi. Namun
tantangan tersebut kini terus berkembang seiring berjalannya waktu, dan bahkan
kini menggrogoti tubuh umat Islam. Sebagaimana penjelasan Henry Shalahuddin
dalam bukunya Mawaqif;
“Maraknya penyebaran
kebatilan pemikiran dalam agama hanya bisa ditanggulangi dengan menghidupkan
kembali budaya ilmu, khususnya tradisi Maqalat
Islamiyyin yang dicanangkan Abu Hasan al-Ashari. Parasite yang menjalar
dari aliran-aliran sesat kedalam akidah Islam ditaklukan dengan argumen ilmiah
berpadukan wahyu dan akal budi dan tersistem dalam disiplin Kalam.”
Disinilah
peran ilmu Kalam yang mengkaji akidah dan menolak kerancuan yang ada dengan
argument akal yang menjadi metode aswaja dalam beragumen. Aswaja menggabungkan
antara wahyu dan akal, karena Allah sendiri pun memerintahkan kita untuk
mengetahui dengan ilmu. Jika iman tanpa disertai dengan ilmu, maka tidak akan
menambahkan keimanannya. Buya Hamka pun berkata;
“Ilmu tanpa iman seperti lentera di tangan penjahat,
dan iman tanpa ilmu seperti lentera di tangan anak kecil.”
Maka
itu pentingnya mengetahui iman dengan disertai dengan ilmu. Jika tidak bisa
saja menyebabkan taqlid butad dalam beragama. Apalagi di zaman sekarang ini
banyak yang menganggap bahwa ilmu Kalam dan pemikiran Islam tidak penting,
padahal disebabkan kurangnya ilmu dan pengetahuan akan agama dan keimanan
menjadikan mereka mudah mengkafirkan sesame muslim.
Karena
itu ilmu Kalam pun masih relevansi untuk sekarang, melihat ilmu ini masih
dibutuhkan, melihat dari fungsi Kalam adalah untuk mempertahankan akidah.
Komentar
Posting Komentar