Orientalisme

Quran & Orientalisme

oleh: Shofiyah Hafizhah I.

Tujuan mempelajarinya adalah agar mempunyai tameng/pelindung dari serangan pemikiran orientalis, seperti halnya vaksin yang bertujuan untuk melindungi diri kita dari virus, maka begitu pula cara kerjanya mempelajari mata kuliah ini. Lalu juga agar kita mengenal yang mana teman, dna mana yang musuh (know your enemy).

Maka penting bagi kita mempelajari hal ini, namun sebelum itu kita harus tau quran itu apa sih? Al-Quran itu adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah lewat perantara Jibril, yang diawali surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nass. Namun, para orientalis ini mengatakan/menuduh bahwa Quran adalah buatan Nabi Muhammad, dan Allah hanyalah memberikan inspirasi untuk membuat Quran itu. Bahkan ada pula yang menuduh bahwa Quran itu merupakan karya yang copypaste dari Yahudi dan Kristen.

Tuduhan-tuduhan seperti tadi sudah ada semejak dulu, sehingga tidak mengherankan. Tapi apa alasan mereka mempelajari/mengkaji Quran? Nah, ada beberapa alasan diantaranya, pertama dikarenakan rasa keterpesonaan, kedua dikarenakan rasa ingin tahu, ketiga dikarenakan alasan agama (missionary), keempat karena rasa ingn menguasai (hegemony), dan terakhir karena 3G (Glory, Gospel, God). Maka dapat disimpulkan bahwa pengkajian yang mereka lakukan untuk kepentingan mereka sendiri.

Setelah mengetahui Quran beserta tuduhan yang dilemparkan terhadapnya, maka kita mempelajari orientalisme. Apa sih orientalisme itu? orientalisme berasal dari kata orient (timur) yang merupakan lawan kata dari oxidant (barat). Edward Said pun mengatakan dalam bukunya yang berjudul Orientalisme:

“…..bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada [pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.”

Istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Menurutnya orientalis adalah “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.” Orientalisme sendiri merupakan studi yang berhubungan dengan Timur dan studi Islam, dan  menjadi disiplin ilmu yang sarat nilai. Namun, dalam kajian yang dilakukan terdapat bias/penyimpangan di dalamnya. Karena pada dasarnya yang melakukan pengkajian ini dari orang barat, yang memiliki keterpengaruhan dari cara pandangnya sebagai manusia barat. Akibat dari bias yang terjadi tersebut menghasilkan frameworknya (cara pandangnya) sendiri dalam mengkaji masalah ketimuran dan keislaman. Orientalisme sendiri lahir dari milleu politik dimana Islam dianggap sebagai ancaman besar bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Hal tersebut dikarenakan adanya dominasi pandangan agama, Kristen dalam memandang Islam. Kemudian dikarenakan juga suasana politik, agama, budaya dan keilmuan itulah yang mengiringi kemunculan tradisi orientalisme yang pada akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri.

Aktivitas orientalisme telah terjadi sejak abad ke 8, namun pengkajian secara serius orientalisme baru dapat dilacak dari sejak abad ke 16. Hal ini terbagi menjadi beberapa fase, fase pertama dimulai pada abad 16, yang mana pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Fase kedua orientalisme terjadi pada abad ke 17-18M, yang mana ini bersamaan dengan modernisasi Barat. Fase ketiga terjadi pada abad-19 dan seperempat pertama abad 20. Yang mana peda fase ini merupakan terpenting bagi kita (muslim) maupun para orientalis sendiri. Dan cara mereka dalam menghadapi Islam berubah dari yang awalnya caci maki, menjadi lebih lembut, yaitu dengan lebih sistematis dan ilmiah, namun walau begitu tetap terdapat bias di dalamnya. Lalu fase keempat yang ditandai dengan Perang Dunia II.

Cantwell Smith terang-terangan mengatakan “Pencarian ilmu selalu siap merubah hypotesanya. Faktanya memang orangorang Barat non-Muslim baru saja mulai memperlembut (sikapnya terhadap Islam) dan bahkan menarik kata ‘tidak’nya”. diganti dengan pendekatan yang menggunakan logika, pengetahuan dan argumentasi. Meskipun demikian tujuan orientalisme adalah tetap sama.”

Oleh sebab itu orientalisme dikenal sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam yang menggunakan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.

Dikarenakan dalam pengkajian yang mereka lakukan melalui worldview mereka sebagai manusia barat, yang terdapat bias di dalamnyaJadi, kajian orientalis yang dianggap objektif dan ilmiah itu sangat mungkin untuk terjerumus dalam kesalahan. Artinya orientalisme sebagai ilmu itu tidak bebas nilai. Maka ada beberapa model kajian yang dilakukan mereka berdasarkan framework mereka. Padahal pengkajian terhadap al-Qur’an itu mensyaratkan adanya unsur keimanan, karena jika hanya mengandalkan akal semata  akan menimbulkan keraguan ketika mendaptkan masalah yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dan metodologi yang mereka lakukan untuk mengkaji tidaklah sesuai, maka hal tersebutlah yang menyebabkan menggiring mereka kepada kesimpulan yang keliru, yang justru bertentangan dengan esensi Quran sendiri. Karena Quran dan Bible itu berbeda dan metode Bible sudah pasti tidak dapat diterapkan, karena Quran punya metologinya sendiri yang mana itu merupakan warisan para ulama kita, yaitu ‘Ulumul Quran.


Metode yang pertama, mengaitkan dengan teks terdahulu. Yanag mana di dalamnya mereka mencari-cari persamaan. Ada beberapa orientalis diantaranya, Abraham Geiger (1810-874), seorang intelektual Yahudi Liberal Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an, yang mana ia menuliskan essay “Apa yang telah dipinjam Muhammad daari Yahudi?”. Lalu Karl-Heinz Ohlig, yang mencari persamaan diantara keduanya. Lalu ada juga Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari tradisi dan kitab suci Kristen. Padahal jika hanya mencari kesamaan isi al-Qur’an dengan kitab-kitab sebelum Islam sudah tentu akan ditemukan dengan mudah. Karena jika diingat bahwa al-Qur’an adalah penyempurna kitab-kitab sebelumnya, maka itu adalah wajar. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran moral yang dibawa oleh al-Qur’an itu adalah universal dan sesuai dengan fitrah manusia. Tapi masalahnya, mereka lupa bahwa dalam al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran yang tidak terdapat dalam kitab-kitab terdahulu.

Metode kedua adalah mengutamakan rasm dari riwayah. Mereka mengira bahwa Quran itu ‘dokuman tertulis’ bukan ‘dokumen hafalan’. Logika tekstual itulah yang menyebabkan mereka beranggapan bahwa al-Qur’an sebagai hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekitar.

Metode ketiga, mereka mempermasalahkan pembentukan mushaf. Beberapa orientalis seperti Watt dan Bell meragukan keaslian wahyu karena tidak adanya bukti teks yang lengkap. Kemudian John Wansbrough mempersoalkan bagaimana Quran disusun menjadi  mushaf yang biasa kit abaca sekarang ini. maka kecurigaan ini dijadikan landasan untuk mengkaji teks al-Qur’an dengan dalih bahwa seluruh dokumentasi kitab harus dilihat dari “salvation history” (analisa kesastraan).

Metode keempat, mempermaslahkan kandungan Quran. W. Montgomery Watt dia beranggapan dan kemudian menafsirkan bahwa wahyu al-Qur’an itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan bahasanya sendiri.

Metode kelima, menggunakan metologi bible. Yang mana merupakan kritis historis, seperti Arthur Jeffery mencoba menyamakan apa yang terjadi di dalam komunitas lintas agama. Bahkan dia pun menghimbau agar cendikiawan muslim mengkritik Quran sebagiaman ia mengkritik bible. Namun akibat dari penerapan biblical criticism dalam studi al-Qur’an, para orientalis melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’an.

 

Komentar