Islamisasi Jawa I

Islamisasi Jawa: Peranan Dai Dulu dan Kini

oleh: Shofiyah Hafizhah I.

Konsep islamisasi Jawa merupakan bagaimana rancangan, struktur islamisasi Jawa tersebut terjadi. Maka islamisasi Jawa ini terjadi secara bertahap, pertama melalui kedatangan Islam, kedua fase penerimaan Islam, dan terakhir penyebaran Islam lebih lanjut. Namun jika kita telusuri islamisasi tidak hanya berhenti pada masa kerajaan Islam saja, tetapi terus berlangsung hingga abad 20. Karena islamisasi terbagi menjadi dua gelombang, dan saat gelombang kedua terjadi masuknya para penjajah ini dan menjadikan jalannya islamisasi bermasalah. Hal tersebut dapat kita lihat dari masih adanya yang bertahan dengan ‘budaya negatif’ tersebut. Melihat hal tersebut maka para dai’ pun tergerak untuk terus melanjutkan perjuangan.

    Menurut Zamaksyari Dhofier, islamisasi terjadi dalam dua gelombang, pertama pengislaman menjadi islam sekedarnya. Kedua proses pemantapan, penyempurnaan. Pada gelombang yang pertama, banyak yang mengira baru terjadi pada zaman Wali Songo, padahal jika dilihat dari bukti sejarah dapat kita ketahui banhwa sebenarnya Islam sudah masuk dari sebelum Wali Songo. Hal ini dapat kita lihat dari catatan seorang China, yang mencatatan tentang Ratu Shi Ma dengan keadilannya yang diselidiki oleh Raja Arab, atau pun kosa kata bahasa Arab dalam Kakawin Bharata Yuddah. Kemudian juga dapat kita lihat bahwa hubungan Arab-Jawa sudah terjalin sejak lama. Pada 600 M, pengaruh Arab sudah terasa di Sumatera, kedatangan Islam mendorong orang Arab semakin sering melakukan petualangan. Maka disini terdapatnya motif keagamaan (dakwah), sedangkan perdangangan menjadi jalan perintis bagi penyebaran Islam.

    Maka Wali Songo merupakan salah satu tahap islamisasi terjadi, bukan tahap awal sebab islamisasi telah dilakukan terlebih dahulu oleh para leluhur mereka. Wali Songo ini melakukan islamisasi lewat berbagai hal, salah satunya kebudayaan. Mereka mengubah budaya yang negatif menjadi budaya positif, baik melalui budaya alternatif, tradisi tulisan atau pun secara langsung. Dapat kita lihat budaya alternatif tersebut yang masih menjadi tradisi hinggi kini. Beberapa diantaranya adalah apeman, yang mana merupakan tradisi (buah dari kebudayaan) yang dipengaruhi oleh unsur keagamaan. 

Tradisi ini sebenarnya diambil dari kata

afwan yang artinya maaf. Dalam tradisi ini mencerminkan silahturahmi dan dalam proses pembuatannya mencerminkan sifat dan sikap ukhuwah islamiyah. Begitu pula dengan berbagai tradisi lainnya yang tidak lepas dari peran wali dalam dakwah mereka. islamisasi lainnya mellaui seni cerita dan suara seperti wayang. Wayang dibuat tidak menyerupai makhluk hidup sebagaimana hadist nabi, kemudian didalamnya terdapat upaya de-mitologisasi dan de-sakralisasi terhadap dewa-dewa. Namun sayangnya, banyak yang menyangka bahwa budaya alternatif tersebut sebagai ‘produk akhir’, ‘budaya pribumi’, atau pun ‘local wisdom’. Hal tersebut dapat kita lihat seperti kemben yang harus digunakan ketika mengunjungi suatu tempat yang dianggap sakral, padahal kemben tersebut sebenarnya merupakan satu tahap islamisasi agar para wanita mau menutup auratnya, maka aneh jika dipaksa untuk menggunakan kemben tersebut padahal kini sudah dapat menutupi aurat secara sempurna. Atau contoh lainnya adalah dari kebaya yang mana merupakan produk alternatif, tapi anggap sebagi ‘produk budaya’ dan kini kerap seringkali diadu dengan jilbab. Maka penting untuk memahami cara dakwah para wali ini.

    Islamisasi pun juga terjadi dalam bahasa. Karena bahasa bukan sekedar kata-kata yang tersusun menjadi sebuah kalimat, tetapi di dalamnya terkandung makna yang menjadi sebuah pemahaman. Menurut Prof. al-Attas, perubahan dalam bahasa adalah perubahan makna yang terkadung di dalamnya. Serta merupakan pengenalan atas segala sesuatu dalam sebuah sistem hubungan sehingga ia menjadi sebuah pemahaman. Mengutip dari Prof. Al-Attas terkait dengan perubahan dalam bahasa dalam bukunya, Risalah Untuk Kaum Muslimin, “Perubahan faham-faham yang terkandung dalam peristilahan-dasar bahasa sesuatu bangsa atau tamaddun membayangkan perubahan dalam cara berfikir dan dalam pandnagan alam bangsa serta tamaddun itu.” Itulah mengapa para ulama dan dai melakukan islamisasi bahasa terlebih dahulu ketika datang ke negri ini. Seperti kata ‘pesantren’, ia merupakan hasil dari islamisasi, sebab ia berasal dari kata sansekerta dan ia diislamkan sehingga kini jika menyebut ‘pesantren’ maka menjadi ciri khas dari Islam. Selain itu juga para wali ini memasukan konsep Islam sebagai bahasa serapan, dan memberikan pemaknaan baru pada konsep bahasa yang telah diislamkan.

    Selain itu islamisasi juga dilakukan melalui politik dan pendidikan. Dakwah melalui politik dengan adanya relasi dengan kekuasaan kerajaan kala itu. Dapat dilihat salah satunya dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel, melalui jalur pernikahan dengan putri-putri penguasa Majapahit sebagai salah satu metodenya. Terjalinnya hubungan baik dengan raja, ia pun meminta izin untuk menyebarkan Islam di wilayah sekitar kerajaan. Raja pun mengizinkan bahkan mendukungnya asal tidak ada paksaan dalam dakwahnya. Sunan Ampel pun diberikan tanah pradikan di Ampel, yang kemudian berdirilah masjid untuk ibadah sekaligus tempat pengajaran. Masjid tersebut berkembang dan menjadi awal mula adanya pesantren di Jawa.

    Sedangkan dalam bidang pendidikan didirikannya pesantren. Jika kita perhatikan pesantren sendiri merupakan salah satu bentuk dari islamisasi, yang sebelumnya merupakan lembaga pendidikan hindu-budha menjadi ciri khas Islam. Jaringan pesantren ini tidak sekedar sebagai tempat belajar agama saja, namun lembaga sosial dan juga dakwah. Giri merupakan salah satu contoh dari pusat kebudayaan Islam pesisir dan banyak menjalankan ekspansi ekonomi ke berbagai wilayah. Banyak pedagangan yang menjadi muslim dan Islam pun menyebar, karena para pedagang muslim ini melanjutkan dakwah.

    Maka pada gelombang kedua merupakan tahapan pemantapan dan penyempurnaan keislaman masyarakat. Jika pada gelombang pertama islamisasi hanya terjadi sekedarnya, maka pada tahap ini islamisasi disempurnakan. Pada tahap dakwah Wali Songo sebenarnya dapat dimasukan dalam gelombang kedua ini. Melihat bahwa adanya usaha pemantapan dan penyempurnaan Islam. Umpama kaum ‘abangan’ yang berubah menjadi seorang ‘santri’. Pembagiaan kelompok sosial ini tidaklah tepat, karena menurut Mitsuo Nakamura perubahan tersebut memang sudah sepatutnya. Karena perubahan kaum abangan, yang memang seorang muslim merupakan suatu kesadaran keagaaman menjadi lebih taat terhadap syariat agama dan itu memang sudah menjadi ritus tersendiri. Karena begitulah islamisasi terjadi, ia menyempurnakan dari sekedar ‘Islam KTP’ menjadi Islam secara kaffah, baik dari ilmu sampai pada kesehariannya.

    Namun masuknya penjajahan dan pengaruh dari Barat menyebabkan terjadinya kendala dalam proses islamisasi tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat dari masih adanya yang bertahan dengan ‘budaya negatif’ tersebut. Melihat hal tersebut maka para dai’ pun tergerak untuk terus melanjutkan perjuangan. Dapat kita lihat dari dakwah yang terus berlanjut hingga abad kesinian, walau dalam cara dakwahnya berbeda, namun pada hakikatnya tujuannya tetap sama.

    Salah satu dari islamisasi tersebut dengan dakwah melalui munculnya berbagai organisasi, salah satunya organisasi Muhammadiyah. Organisasi yang lahir dari ideologi Ahmad Dahlan sebagai usaha untuk mengubah Islam yang kala itu masih tercampur dengan animisme. Dapat kita lihat dari tujuan utamanya yaitu menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada seluruh masyarakat dan juga memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya. Selain itu juga Muhammadiyah berupaya untuk merasionalisasikan dan memodernsasikan budaya Jawa yang mana budaya Jawa kala itu masih kental dengan kejawennya. Hal ini dapat dilihat dalam upayanya untuk menggantikan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap roh-roh dengan tauhid, ritual-ritual disederhanakan, mistisme diubah menjadi aktivisme. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa untuk meraih kesuksesan hanya dapat dicapai dengan ikhtiar disertai dengan doa kepada Allah, bukan malah meminta kepada apa yang mereka anggap keramat. Ahmad Dahlan mengatakan hal ini untuk mengubah kepercayaan masyarakat yang masih sangat lekat akan animisme.

    Maka dapat kita simpulkan bahwa islamisasi ini tidak hanya terjadi pada satu tahapan atau pun satu zaman saja, melainkan terus berlangsung. Pada mulanya islamisasi hanya terjadi sekedarnya, namun seiring berjalannya zaman islamisasi terjadi hingga pada tahap penyempurnaan. Keberhasilan islamisasi ini tidaklah lepas dari peran para dai dan ulama yang mengerahkan seluruh usaha mereka. mulai dari berbagai kegiatan islamisasi dilakukannya tanpa menyinggung perasaan masyarakat setempat serta menggunakan kepandaian dan kecakapan sehingga dapat berlangsung dengan baik. Hasil dari islamisasi tersebut dapat kita lihat dari tradisi yang merupakan hasil dari kebudayaan yang mana kebudayaan tersebut dipengaruhi oleh unsur keagamaan.


Tradisi yang ada sebagai bungkusan namun isinya adalah nilai-nilai Islam. Begitulah konsep islamisasi yang dibentuk oleh para dai dan ulama dalam melakukan islamisasi di nusantara khususnya di Jawa ini. Bermula dari budaya yang negatif diganti dengan budaya yang positif baik melalui budaya alternatif terlebih dahulu agar diterima oleh masyarakat atau pun melalui tradisi lesan dan tulisan.

 


Komentar