Sejarah Islam di Nusantara

Sekilas Sejarah Islam di Nusantara 

Oleh: Shofiyah Hafizhah I.

Sejarah merupakan suatu hal yang penting, karena dia didasari oleh sebuah pandangan semesta. Sejarah bukan sekedar memahami tahun, tokoh, atau peristiwa saja, melainkan lebih jauh lagi sejarah itu memahami pada makna dan nilai. Keduanya tidak akan terwujud jika didasari dengan pandangan yang salah. Karena itu perlunya kita memahami sejarah dengan kerangka berpikir yang benar. Maka dengan begitu kita membutuhkan penulisan sejarah yang sesuai dengan kepribadian masyarakat Nusantara, bukan masayarakat Barat. Seringkali penulisan sejarah pun dipandang tidak penting dan diabaikan. Banyak yang berpandangan bahwa sejarah Islam di Nusantara ini tidaklah membawa perubahan, padahal berkat Islam dan peran ulama-lah kita dapat bergerak lebih maju dari pada sebelumnya.

Dalam sejarah, pandangan yang kerap muncul adalah unsur dzohir saja, tetapi melupakan unsur bathinnya. Hal ini nampak sekali apabila kita memperhatikan sejarah Islam di Indonesia. Padahal perubahan struktur kehidupan masyarakat tidak hanya sampai ke dzohir saja tetapi jauh lebih dalam lagi. Sejarah bukan suatu hal yang stagnan begitu saja, melainkan di dalamnya mengambil ibroh dan belajar dari kesalahan yang pernah terjadi.

Ketika Islam datang ke Nusantara ini, banyak yang mencari tahu kapan dan bagaimana Islam masuk dan tersebar luas di kepulauan ini. Ada berbagai teori mengenai kedatangan Islam, beberapa diantaranya teori Arab, Gujarat, Persia, Bengali, dan China. Dari banyaknya teori mengenai kedatangan Islam, teori Arablah yang paling kuat. Dapat kita lihat dari Kerajaan Samudera Pasai saat itu yang bermadzabkan Syafi’I, ini menunjukan bahwa Islam dibawa dari Mesir dan Mekkah ke Asia Tenggara, bukan dari Gujarat atau pun Persia, karena keduanya bermadzabkan Hanafi dan Syiah. Islam yang dibawa pedagang Arab ke Nusantara melewati dan tetapi mereka transit terlebih dahulu ke Gujarat, sehingga timbulah pandangan bahwa Islam dibawa dari India, padahal tetap saja yang membawanya adalah pedagang Arab bukan India. Kemudian proses dari perkembangan Islam disebabkan beberapa faktor, seperti perdagangan, perkawinan, atau memang disebarkan oleh para dai’ yang dikususkan untuk mengajarkan Islam. Nusantara khususnya Indonesia telah berinteraksi dengan Islam sejak abad ke-7 dalam bentuk perdagangan, transmisi ilmu dan lainnya. Banyaknya teori dan faktor menunjukan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dalam satu waktu, satu bentuk dan satu sebab saja.

Kehadiran Islam di Indonesia punya peran penting yang sangat menetukan dalam pembentukan sejarah Indonesia. Ini menunjukan bahwa Islam bukan ‘pelitur’ tetapi merupakan intinya, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Thomas Stamford Raffles, yang merekontruksi sejarah dengan mengatakan bahwa Islam merupakan kerak tipis yang menutupi lapisan dalamnya yaitu Hindu-Budha. (al-Ghiffari, 2020) Dengan begitu ia telah menyebabkan identitas umat Islam terpinggirkan. Sehingga menyebabkan adanya bias dan memunculkan distorsi terhadap sejarah Islam di Indonesia. Itu merupakan contoh dari sekian banyaknya orientalis yang berpandangan bahwa Islam merupakan pelitur saja sedangkan warna aslinya adalah Hindu-Budha, yang mana mereka mengatakan itu disebabkan mereka hanyalah melihat pada peninggalan arsitekturalnya saja. Sebagaimana Syed Naquib al-Attas katakan dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudyaan Melayu;

“….Sebabnya mereka sendiripun merupakan satu hasil didikan dari warisan tamaddun dan kebudayaan yang pandangan hidup serta nilai2nya berakar-umbi pada dunia estetik. Dalam kebudayaan Barat agama senantiasa dihidangkan malalui pengantar seni.” (al-Attas, 1990)

Para orientalis kerap memandang Islam tidaklah membawa perubahan asasi dan peradaban yang yang lebih luhur dari sebelumnya. Claude Guillot pun juga mengatakan hal yang sama di dalam bukunya Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII; “Tampaknya, cara berpikir agama Islam, yang saat itu baru saja merayakan kejayaannya, tidak membawa perubahan yang mendasar.” Padahal Islam datang membawa perubahan yang yang sangat besar, karena dengan hadirnya Islam masyarakat menuju kepada keintelektualisme. Itulah yang tidak dilihat oleh para orientalis, karena mereka hanya melihat pada peninggalan artefak saja bukan kepada keintelektualan, padahal sejak datangnya Islam, bahasa Melayu menjadi bahasa lingua franca dan bahasa intelektual, dan itulah seni tertinggi karena itu merupakan wujud dari rasional. Sebagaimana yang al-Attas katakan dalam bukunya;

“…banyak sarjana yang telah memperkatakan Melayu-Indo; hanya sedikit sisa jejaknya di atas  jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduanya, kebuddhaanya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lahir hanya merupakan angan-angan belaka.” (al-Attas, 1990)

Setelah Islam masuk dan berkembang Asia Tenggara pun menjadi maju bahkan menjadi kiblat dalam pengetahuan. Kemudian terjadinya masifikasi Islam di Indonesia pada abad ke-18, karena adanya ketertarikan masyarakat terhadap pedagang asing, yang mana para pedagang ini sebenarnya adalah para dai’. Kemudian disebabkan juga oleh kehadiran Kolonial Barat-Kristen yang menindas sehingga mempercepat kristalisasi kehadiran Islam sehingga menadi agama rakyat. Selain itu juga adanya faktor internal yaitu berasal dari lembaga pendidikan Islam seperti meunasah, surau, pesantren, dan lainnya.

Masjid pun menjadi basis pengembangan Islam, sebagaimana saat zaman Rasulullah dahulu yang mempergunakan masjid untuk menuntut ilmu dan berbagai aktifitas lainnya. Hingga hadirnya kolonialisme menyebabkan sejarah terdistorsi dan masuknya liberalisme dari jalur pendidikan dan hubungan politik dan ekonomi.


Pembaharuan Islam dalam prespektif sejarah maritime, yang mana memang Kepulauan Nusantara ini dikelilingi oleh lautan yang merupakan satu sistem tertentu dengan satu-satuan tersendiri yang menghubungkan teluk, semenanjung dan wilayah yang berada dalam lingkungan laut tersebut. Braudel melihat sitem maritim Laut Tengah yang tercipta dari interaksi ekonomi antar pulau yang ada dalam gugus laut sebagai kojungtur yang mempengaruhi berbagai peristiwa sejarah. Struktur dan konjungtur itu memungkinkan terjadinya proses pemabaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-17 sampai ke-18. Menurut Azumardi Azra pembaharuan Islam di Indonesia berasal dari Timur Tengah, yang mana terjadinya koneksi intelektual antara Nusantara dengan Hijaz. Disana terdapat komuniatas orang Nusantara yang menuntut ilmu seperti Nuruddin ar-Raniri, Abdurrauf as-Singkili dan lainnya dan mereka inilah yang disebut sebagai ashab al-Jawi yang mana terkenal akan lingua franca, yang karakter linguistiknya egalier dan mudah dipelajari.

Kemudian satu kesatuan laut, yang mana banyak pulau di dalamnya dari sanalah banyak ulama yang lahir dari kesatuan Laut Jawa. Faktor geogratis dan ekologis Laut Jawa dalam konteks perkembangan pembaharuan Islam di Kepulauan Nusantara ini menjadi penting.

Landas struktural ini berpengaruh pada terbentuknya konjungtur yang muncul dari interaksi antara pulau. Yang dari interaksi itu membentuk pola ekonomi, politik, social dan kultural. Pola tesebut secara langsung berpengaruh pada model perkembangan pembaharuan yang bermula dari pesisir mulai masuk ke pedalaman. Sebagaimana yang terjadi di Tatar Sunda yang berada di pedalaman, dan berhasil di Islamkan lewat jalur perdagangan dan perkawinan sehingga kemudian Islam pun tersebar dan berkemabag semakin luas.

 


Komentar