Mentadabburi Sejarah

Oleh: Shofiyah Hafizhah Irvan

 Kehidupan tidak terlepas dari namanya sejarah. setiap dari kita pastilah memiliki sejarah hidupnya masing-masing. Ustadz Rijal pernah mengatakan dalam kuliah Filsafat Barat, “Sejarah adalah data yang paling penting untuk mengenali diri selain aspek bahasa dalam cara pikir dan pandangan alam.” Karena sejarah merupakan jembatan penghubung dengan masa lalu, dengan mengetahui sejarah kita dapat mengenali sesuatu dengan baik. Ketika kita ingin mengetahui peradaban Barat, maka perlu kita mengkaji sejarah mereka, sehingga mengenali, memahami cara pikir mereka dengan baik. Ada pepatah yang mengatakan terkait sejarah, “Siapa yang tidak belajar dari sejarah, maka suatu saat sejarah sendirilah yang akan mengajarinya”. Ketika seseorang tidak belajar dari sejarah maka kelak ketika sejarah akan terulang dan ia akan baru belajar dan memahaminya. Namun, sejarah bukan sekedar perihal tanggal, tokoh, atau peristiwa, tetapi lebih jauh lagi memahami pada makna dan nilai didalamnya. Dalam Islam sejarah merupakan suatu hal yang penting, karena merupakan keinginan untuk mengambil ibroh, sehingga menjadikan kita berpikir.

Banyak yang mengira bahwa belajar sejarah hanya sekedar mengahafal tahun, tokoh dan peristiwa saja, tidak ada ibroh yang diambil. Padahal ketika kita mempelajari sejarah, maka kita akan mendapatkan banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran. Seperti di zaman Nabi Musa as. ada tiga orang yang disebutkan dalam quran agar kita mengambil pelajarannya, Fir’aun, Haman, dan Qarun. Mereka bertiga merupakan gambaran seorang penguasa, alim, dan berharta, karena tiga hal tersebut merupakan hal yang saling melengkapi satu sama lainnya dalam sebuah peradaban. Kita dapat dilihat ketika masa kekhalifahan, ada Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai pemimpin, ada Ali bin Abi Thalib sebagai babul ‘ilm, dan ada Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang memiliki harta berlimpah. Ketika seorang penguasa berlaku dzalim, seorang alim menyalahgunakan ilmunya, dan seorang hartawan menimbun harta, maka hancurlah peradaban.

Karena itu mempelajari sejarah bukan sekedar buka-tutup lembar kemenangan dan kekalahan, tetapi mentadabburinya. Seperti yang dikatakan Imam al-Ghazali; “Hal yang salah ketika kita belajar sejarah adalah; kita seringkali membuka halaman-halaman tentang kemenangan dadn kekelahan. Padahal tadabbur sejarah nukan seperti itu, karena yang benar adalah; ketika kita mentadabburi apa syarat-syarat yang membuat menang, dan apa sebab-sebab yang membuat kalah”. Dalam quran dua pertiganya berisi kisah para kaum sebelumnya, namun itu bukan sekedar kisah saja, namun diharapkan untuk mengambil pelajaran darinya. Sebagaimana dalam quran Qs. Hud: 120. Ketika Allah menurunkan azab kepada suatu kaum, maka kita pelajari apa yang menyebabkan Allah murka dan menjauhi hal tersebut. Dan ketika Allah memberikan nikmat maka kita pelajari apa yang membuat Allah ridha dan mengamalkan hal tersebut.

Sejarah bukan saja melihat pada aspek materi saja, tetapi juga bathinnya. Sebab jika dilihat dari aspek materi saja, seperti candi, bangunannya, maka ia akan hancur dimakan zaman, sedangkan dari aspek bathin, ia akan kekal karena ia menyerap kepada suatu masyarakatnya. Sejarah bukan suatu hal yang stagnan begitu saja, ia bukan suatu yang berhenti di masa lalu, tetapi ada yang diambil sebagai pelajaran. Itulah mengapa Imam Malik mengatakan, “Kondisi generasi belakangan umat ini akan tidak dapat diperbaiki kecuali dengan mengikuti jejak yang membuat generasi pertamanya menjadi baik”. Itulah mengapa jika kita ingin bangkit maka kita perlu mengetahui bagaimana cara para pendaulu kita dapat membangun peradaban. para perintis peradaban pastilah merasakan masa sulit dan bukan hal yang mudah, dan sang guru, Rasulullah memberikan pengajaran yang terbaik sehingga melahirkan generasi hebat dan tangguh. Dengan penanaman adab dan pengajaran disetiap waktu serta tempat, membuat sahabat paham akan sebuah permasalahan dan mereka paham akan peran mereka masing-masing dalam kehidupan ini. 

Dalam buku Edgar Hamas mengatakan, “Sejarah Islam, bagi siapa pun mentadabburi dengan hati dan akalnya, akan menemukan; di saat masa mencekam, di dalam waktu yang tersulit, justru kemenangan berada pada titik yang sangat dekat”. Dalam sejarah Islam terkadanga kemenangan datang ketika di waktu terhimpit dan kepada pasukan yang sedikit. Seperti peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, ketika perang Khandaq, dan perang lainnya. Jumlah pasukan muslim tidaklah sebanyak pasukan musuh, namun umat Islam dapat memenangkan peperangan. Tak hanya dalam konteks peperangan saja, tapi dalam berbagai hal, salah satunya para imam mazhab, mereka merasakan siksaan demi membela yang haq, mereka menyatakan kebenaran bukan membenarkan kenyataan, namun mereka menuai hasil, Islam masih eksis hingga hari ini dan karya mereka dibaca hingga kini. Karena dalam Islam pasti menampilkan kualitas bukan kuantitas, sebab yang kuantitasnya banyak terkadang belum terjamin kualitasnya. Seperti hadist Rasulullah; “Bahkan masa itu mereka lebih ramai tetapi tidak berguna, tidak berarti dan tidak menakutkan musuh. Mereka adalah ibarat buih di laut.” Banyaknya kaum muslimin menandakan bahwa Islam sudah tersebar namun disayangkan adalah kualitas mereka. Dapat dilihat kondisi kita sekarang yang terbelakang dari peradaban lainnya, namun jangan menjadikan kita putus ada karena mungkin disaat masa tersulit yang dihadapi oleh kaum muslimin maka titik kemenangan sudah dekat, namun sayangnya kebanyakan dari kita sekarang menilai bahwa ketika kesulitan maka itu merupakan kesialan dan tanda kekalahan. Maka perlunya mengubah mindset akan hal tersebut, dengan begitu maka kita kan bisa maju dan memenangkan peperangan. Tak lupa mesti disertai dengan ilmu, yang merupakan kualifikasi pertama yang harus kita miliki, dan bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu nafi’. Ilmu yang bermanfaat dan menjadikan kita hamba yang bertaqwa kepada Allah. Karena ilmu merupakan pondasi berdirinya sebuah peradaban serta kunci kesuksesan dunia dan akhirat.

 

 

 


Komentar