Oleh: Shofiyah Hafizhah Irvan
Karena itu mempelajari sejarah bukan sekedar
buka-tutup lembar kemenangan dan kekalahan, tetapi mentadabburinya. Seperti
yang dikatakan Imam al-Ghazali; “Hal yang salah ketika kita belajar sejarah
adalah; kita seringkali membuka halaman-halaman tentang kemenangan dadn
kekelahan. Padahal tadabbur sejarah nukan seperti itu, karena yang benar
adalah; ketika kita mentadabburi apa syarat-syarat yang membuat menang, dan apa
sebab-sebab yang membuat kalah”. Dalam quran dua pertiganya berisi kisah
para kaum sebelumnya, namun itu bukan sekedar kisah saja, namun diharapkan
untuk mengambil pelajaran darinya. Sebagaimana dalam quran Qs. Hud: 120. Ketika
Allah menurunkan azab kepada suatu kaum, maka kita pelajari apa yang
menyebabkan Allah murka dan menjauhi hal tersebut. Dan ketika Allah memberikan
nikmat maka kita pelajari apa yang membuat Allah ridha dan mengamalkan hal
tersebut.
Sejarah bukan saja melihat pada aspek materi saja,
tetapi juga bathinnya. Sebab jika dilihat dari aspek materi saja, seperti
candi, bangunannya, maka ia akan hancur dimakan zaman, sedangkan dari aspek
bathin, ia akan kekal karena ia menyerap kepada suatu masyarakatnya. Sejarah bukan suatu hal yang stagnan begitu saja, ia bukan suatu yang berhenti di masa lalu, tetapi ada
yang diambil sebagai pelajaran. Itulah mengapa Imam Malik mengatakan, “Kondisi
generasi belakangan umat ini akan tidak dapat diperbaiki kecuali dengan
mengikuti jejak yang membuat generasi pertamanya menjadi baik”. Itulah
mengapa jika kita ingin bangkit maka kita perlu mengetahui bagaimana cara para
pendaulu kita dapat membangun peradaban. para perintis peradaban pastilah
merasakan masa sulit dan bukan hal yang mudah, dan sang guru, Rasulullah
memberikan pengajaran yang terbaik sehingga melahirkan generasi hebat dan
tangguh. Dengan penanaman adab dan pengajaran disetiap waktu serta tempat,
membuat sahabat paham akan sebuah permasalahan dan mereka paham akan peran
mereka masing-masing dalam kehidupan ini.
Dalam buku Edgar Hamas mengatakan, “Sejarah Islam, bagi siapa pun mentadabburi dengan hati dan akalnya, akan menemukan; di saat masa mencekam, di dalam waktu yang tersulit, justru kemenangan berada pada titik yang sangat dekat”. Dalam sejarah Islam terkadanga kemenangan datang ketika di waktu terhimpit dan kepada pasukan yang sedikit. Seperti peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, ketika perang Khandaq, dan perang lainnya. Jumlah pasukan muslim tidaklah sebanyak pasukan musuh, namun umat Islam dapat memenangkan peperangan. Tak hanya dalam konteks peperangan saja, tapi dalam berbagai hal, salah satunya para imam mazhab, mereka merasakan siksaan demi membela yang haq, mereka menyatakan kebenaran bukan membenarkan kenyataan, namun mereka menuai hasil, Islam masih eksis hingga hari ini dan karya mereka dibaca hingga kini. Karena dalam Islam pasti menampilkan kualitas bukan kuantitas, sebab yang kuantitasnya banyak terkadang belum terjamin kualitasnya. Seperti hadist Rasulullah; “Bahkan masa itu mereka lebih ramai tetapi tidak berguna, tidak berarti dan tidak menakutkan musuh. Mereka adalah ibarat buih di laut.” Banyaknya kaum muslimin menandakan bahwa Islam sudah tersebar namun disayangkan adalah kualitas mereka. Dapat dilihat kondisi kita sekarang yang terbelakang dari peradaban lainnya, namun jangan menjadikan kita putus ada karena mungkin disaat masa tersulit yang dihadapi oleh kaum muslimin maka titik kemenangan sudah dekat, namun sayangnya kebanyakan dari kita sekarang menilai bahwa ketika kesulitan maka itu merupakan kesialan dan tanda kekalahan. Maka perlunya mengubah mindset akan hal tersebut, dengan begitu maka kita kan bisa maju dan memenangkan peperangan. Tak lupa mesti disertai dengan ilmu, yang merupakan kualifikasi pertama yang harus kita miliki, dan bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu nafi’. Ilmu yang bermanfaat dan menjadikan kita hamba yang bertaqwa kepada Allah. Karena ilmu merupakan pondasi berdirinya sebuah peradaban serta kunci kesuksesan dunia dan akhirat.
Komentar
Posting Komentar