Oleh: Shofiyah Hafizhah Irvan
Paham ini sangatlah bermuara pada paham
relativisme, yang mana menunjukan tidak ada kebenaran sejati, tidak ada absolute
truth claim. Tidak boleh ada pengklaiman “agama saya yang paling benar”,
karena kebenaran agama itu dianggap relatif. Seperti dalam fatwa MUI (tahun
2005); “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Menurut
Dr. Adian Husaini, paham ini merupakan paham ‘syirik modern’, karena mereka
merelatifkan semua agama, maka berarti tidak ada bedanya antara iman dan kufur,
lurus dan sesat. Lalu untuk apa setiap hari kita membaca kalam Allah; “ihdina
ash-shiraatha al-mustaqim?” dalam buku tafsirnya, Tafsir al-Azhar, Buya
Hamka menafsirkan ayat tersebut sebagai ad-diin al-Islam, maka itu sudah
cukup jelas menunjukan bahwa agama di luar Islam itu salah.
Dalam artikelnya Dr. Adian
menuliskan, “Mereka menafikan klaim “paling benar sendiri” dalam suatu agama,
tapi justru faktanya “kaum pluralis”-lah yang mengklaim dirinya paling benar
sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement).” Memang
benar pada kenyataannya mereka sendirilah yang mengklaim dirinya paling benar,
dengan pengklaiman bahwa ajaran pluralisme ini sangatlah menghargai perbedaan
dan toleransi. Padahal mereka sendirilah yang intoleran karena mengingkari
kebenaran sebuah agama. Lalu jika pluralisme itu diartikan sebagai pengakuan
agama, maka jelas Islam menolaknya. Karena jika Islam mengakui kebenaran agama
lain, buat apa Islam mengajak agama lain untuk memeluk agamanya.
Paham pluralisme merupakan bahaya
yang terus mengintai, walau dia tidak begitu terlihat. Hal tersebut dikarenakan
ia menutupi dengan topeng “toleransi”. Bagi mereka, kita yang mengklaim bahwa
Islam adalah satu-satunya agama yang benar, maka kita disebut intoleran. Dalam
satu akun media social, ada seseorang yang memposting kata-kata seperti
berikut; “Agamanya begini atau begitu, salah. Pandangan hidupnya beda, salah
juga. Apa sulitnya sih toleransi? Ya, sulit sih kalau kita menganggap cuma
agama dan pandangan kita yang benar. Lepas lensa dan kacamatamu! Ada banyak hal
yang lebih indah dilihat dengan mata telanjang daripada yang terbingkai frame,
lho. Karena Tuhan menciptakan mata dan keindahan, sedangkan manusia cuma bisa
menciptakan bingkai dan batasan.”
Jika kita baca dari postingan
tersebut bisa kita simpulkan bahwa orang ini beranggapan bahwa orang yang
menganggap agamanya benar sendiri itu intoleran. Ia beranggapan bahwa
seharusnya kita jangan membenarkan agama sendiri, jangan melihat dari sudut
pandang kita saja. Masing-masing pasti memiliki worldview dan jika semua
worldview itu harus diterima tanpa adanya penolakan, maka akan
menimbulkan kebingungan. Padahal bagi seorang muslim, cara pandang merupakan
suatu hal yang penting. Karena cara pikir akan mempengaruhi perilaku kita
sehari-hari, dari dalam memandang, memahami, dan bersikap. Inilah yang disebut
dengan ru’yatul Islam lil wujuud, yang mana melihat dengan pandangan
Islam, yang mana tidak melihat dengan panca indra, tetapi menggunakan ilmu.
Toleransi
adalah saling menghargai perbedaaan satu sama lain, dan memang kita diciptakan
dengan banyaknya perbedaan satu sama lainnya, sebagaimana dalam surat Hujurat
ayat 13. Namun, tidak ada namanya toleransi jika itu sudah menyangkut akidah
dan keyakinan. Sebagaimana di dalam Quran, “lakum diinukum wa liyadin”,
sudah jelas di katakan dalam Quran “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Ayat
tersebut merupakan solusi, yang mana mengakui perbedaan dan identitas agama
lain -tapi bukan berati membenarkan agama lain itu benar- tanpa harus
menggadaikan keyakinan masing-masing. Berbeda dengan pluralisme yang lebih
kepada menghapus perbedaan agama yang ada.
Dalam bukunya, Dr. Adian Husaini
mengatakan;
“Beratus tahun, sejak kelahirannnya,
Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui
dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. Saat Nabi Muhammad
Saw diutus, di wilayah Timur Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan
kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad Saw mengajak mereka untuk memeluk Islam,
mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah. Tapi, Nabi
Muhammad Saw tidak menyatakan, “semua agama sama-sama jalan yang sah menuju
Tuhan!” bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun”
Rasulullah sendiri sudah mengajarkan
kepada kita berinteraksi, bersosial, dan bersikap toleran dengan agama lain.
Seperti dalam jual beli, mempercayakan pengolahan lading di Khaibar kepada
orang Yahudi. Tapi, dalam sisi masalah teologi beliau tidak pernah menoleransi
kafir Qurays yang menyembah berhala.
Sebagaimana perkataan Buya Hamka:
“Soal akidah, diantara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat
dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan
dengan syirik, artinya kemenangan syirik.” Sudah jelas bahwa tidak ada kompromi
dalam hal keyakinan, yang haq tidak bisa dicampur dengan bathil,
iman tidak bisa digabung dengan kufur, karena jika digabung maka akan menjadi
rancu kedua hal tersebut. Surat Al-Kafirun itu menjadi dalil bahwa konsep tuhan
yang berbeda, dan serta tidak ada kompromi didalamya.
Apakah itu berarti kita intoleran?
Tidak, kita tetap bisa bersikap toleran, bekerjasama dalam banyak hal, tanpa
harus menggadaikan keyakinan kita. Karena toleransi itu adalah saling
menghargai dan menghormati perbedaan. Itulah yang membedakan toleransi dan
pluralisme. Kedua hal tersebut tidaklah sama. Dalam artikel insist, Dr.
Khalif Muammar: Toleran saja tidak cukup, mesti menerima kebenaran, dituliskan
bahwa; “Toleransi tidak harus bermakna berkompromi dalam perkara yang prinsip
sehingga membenarkan sesuatu yang salah.” Karena toleransi dalam Islam ada
batasnya, karena tidak mungkin akan mengucapkan “selamat berjudi, selamat
menjadi kafir” dan sejenisnya.
Paham ini kini merasuki pemikiran tidak lagi dengan
terang-terangan, tetapi dengan halus. Dengan slogan ‘toleransi’, dan
mengartikan bahwa harus saling menghargai dengan cara tidak ada yang
membenarkan agamanya sendiri, dan menyeragamkan semua agama. Maka untuk
menghindari pemahaman pluralism yaitu dengan memiliki worldview Islam. Dengan
begitu kita akan mengetahui begitu halusnya mereka merasuki. Serta dapat
memehami konsep toleransi yang benar dan sesuai dengan konsep Islam.
Komentar
Posting Komentar