Antara Pluralisme dan Toleran

Oleh: Shofiyah Hafizhah Irvan


Pluralisme merupakan wacana penyeragaman segala perbedaan, dan seringkali didefinisikan sebagai sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama, menuju Tuhan yang sama. Karena itu, tidak boleh ada pengklaiman bahwa agamanya yang benar dan yang lain itu salah. Paham ini diumpamakan seperti roda, yang mana agama itu ibarat jari-jari roda, dan pusat rodanya adalah Tuhan. Maka bagi para pluralis, semua agama itu menuju Tuhan yang sama, hanya saja yang berbeda adalah cara beribadahnya, dan menurut mereka kita akan masuk surga secara berdampingan. Padahal dimensi metafisik dan konsep ketuhanan yang diklaim sama pada hakikatnya berbeda, dan klaim ketuhanan tidak mungkin disamakan karena masing-masing memiliki klaim teologis yang berbeda. Dan sebenarnya orang yang menganut paham pluralisme itu telah berdiri di luar agama karena tidak memiliki pendirian, dan sangat dekat dengan ateisme. Dan Tuhan mereka itu abstrak. Karena jika semua agama itu sama, lalu dalam bersamaan Tuhan dalam Islam mengatakan babi itu haram, tapi Tuhan dalam Kristen mengatakan babi itu halal, maka Tuhan manakah yang disembah oleh mereka?

Paham ini sangatlah bermuara pada paham relativisme, yang mana menunjukan tidak ada kebenaran sejati, tidak ada absolute truth claim. Tidak boleh ada pengklaiman “agama saya yang paling benar”, karena kebenaran agama itu dianggap relatif. Seperti dalam fatwa MUI (tahun 2005); “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Menurut Dr. Adian Husaini, paham ini merupakan paham ‘syirik modern’, karena mereka merelatifkan semua agama, maka berarti tidak ada bedanya antara iman dan kufur, lurus dan sesat. Lalu untuk apa setiap hari kita membaca kalam Allah; “ihdina ash-shiraatha al-mustaqim?” dalam buku tafsirnya, Tafsir al-Azhar, Buya Hamka menafsirkan ayat tersebut sebagai ad-diin al-Islam, maka itu sudah cukup jelas menunjukan bahwa agama di luar Islam itu salah.

Dalam artikelnya Dr. Adian menuliskan, “Mereka menafikan klaim “paling benar sendiri” dalam suatu agama, tapi justru faktanya “kaum pluralis”-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement).” Memang benar pada kenyataannya mereka sendirilah yang mengklaim dirinya paling benar, dengan pengklaiman bahwa ajaran pluralisme ini sangatlah menghargai perbedaan dan toleransi. Padahal mereka sendirilah yang intoleran karena mengingkari kebenaran sebuah agama. Lalu jika pluralisme itu diartikan sebagai pengakuan agama, maka jelas Islam menolaknya. Karena jika Islam mengakui kebenaran agama lain, buat apa Islam mengajak agama lain untuk memeluk agamanya.

Paham pluralisme merupakan bahaya yang terus mengintai, walau dia tidak begitu terlihat. Hal tersebut dikarenakan ia menutupi dengan topeng “toleransi”. Bagi mereka, kita yang mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, maka kita disebut intoleran. Dalam satu akun media social, ada seseorang yang memposting kata-kata seperti berikut; “Agamanya begini atau begitu, salah. Pandangan hidupnya beda, salah juga. Apa sulitnya sih toleransi? Ya, sulit sih kalau kita menganggap cuma agama dan pandangan kita yang benar. Lepas lensa dan kacamatamu! Ada banyak hal yang lebih indah dilihat dengan mata telanjang daripada yang terbingkai frame, lho. Karena Tuhan menciptakan mata dan keindahan, sedangkan manusia cuma bisa menciptakan bingkai dan batasan.”

Jika kita baca dari postingan tersebut bisa kita simpulkan bahwa orang ini beranggapan bahwa orang yang menganggap agamanya benar sendiri itu intoleran. Ia beranggapan bahwa seharusnya kita jangan membenarkan agama sendiri, jangan melihat dari sudut pandang kita saja. Masing-masing pasti memiliki worldview dan jika semua worldview itu harus diterima tanpa adanya penolakan, maka akan menimbulkan kebingungan. Padahal bagi seorang muslim, cara pandang merupakan suatu hal yang penting. Karena cara pikir akan mempengaruhi perilaku kita sehari-hari, dari dalam memandang, memahami, dan bersikap. Inilah yang disebut dengan ru’yatul Islam lil wujuud, yang mana melihat dengan pandangan Islam, yang mana tidak melihat dengan panca indra, tetapi menggunakan ilmu.

Toleransi adalah saling menghargai perbedaaan satu sama lain, dan memang kita diciptakan dengan banyaknya perbedaan satu sama lainnya, sebagaimana dalam surat Hujurat ayat 13. Namun, tidak ada namanya toleransi jika itu sudah menyangkut akidah dan keyakinan. Sebagaimana di dalam Quran, “lakum diinukum wa liyadin”, sudah jelas di katakan dalam Quran “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Ayat tersebut merupakan solusi, yang mana mengakui perbedaan dan identitas agama lain -tapi bukan berati membenarkan agama lain itu benar- tanpa harus menggadaikan keyakinan masing-masing. Berbeda dengan pluralisme yang lebih kepada menghapus perbedaan agama yang ada.

Dalam bukunya, Dr. Adian Husaini mengatakan;

“Beratus tahun, sejak kelahirannnya, Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. Saat Nabi Muhammad Saw diutus, di wilayah Timur Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad Saw mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah. Tapi, Nabi Muhammad Saw tidak menyatakan, “semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!” bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun”

Rasulullah sendiri sudah mengajarkan kepada kita berinteraksi, bersosial, dan bersikap toleran dengan agama lain. Seperti dalam jual beli, mempercayakan pengolahan lading di Khaibar kepada orang Yahudi. Tapi, dalam sisi masalah teologi beliau tidak pernah menoleransi kafir Qurays yang menyembah berhala.

Sebagaimana perkataan Buya Hamka: “Soal akidah, diantara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya kemenangan syirik.” Sudah jelas bahwa tidak ada kompromi dalam hal keyakinan, yang haq tidak bisa dicampur dengan bathil, iman tidak bisa digabung dengan kufur, karena jika digabung maka akan menjadi rancu kedua hal tersebut. Surat Al-Kafirun itu menjadi dalil bahwa konsep tuhan yang berbeda, dan serta tidak ada kompromi didalamya.

Apakah itu berarti kita intoleran? Tidak, kita tetap bisa bersikap toleran, bekerjasama dalam banyak hal, tanpa harus menggadaikan keyakinan kita. Karena toleransi itu adalah saling menghargai dan menghormati perbedaan. Itulah yang membedakan toleransi dan pluralisme. Kedua hal tersebut tidaklah sama. Dalam artikel insist, Dr. Khalif Muammar: Toleran saja tidak cukup, mesti menerima kebenaran, dituliskan bahwa; “Toleransi tidak harus bermakna berkompromi dalam perkara yang prinsip sehingga membenarkan sesuatu yang salah.” Karena toleransi dalam Islam ada batasnya, karena tidak mungkin akan mengucapkan “selamat berjudi, selamat menjadi kafir” dan sejenisnya.

 Paham ini kini merasuki pemikiran tidak lagi dengan terang-terangan, tetapi dengan halus. Dengan slogan ‘toleransi’, dan mengartikan bahwa harus saling menghargai dengan cara tidak ada yang membenarkan agamanya sendiri, dan menyeragamkan semua agama. Maka untuk menghindari pemahaman pluralism yaitu dengan memiliki worldview Islam. Dengan begitu kita akan mengetahui begitu halusnya mereka merasuki. Serta dapat memehami konsep toleransi yang benar dan sesuai dengan konsep Islam.

 

 

 

Komentar